Sabtu, 06 Juni 2009

Hak Allah Dan Hak Mukallaf

Hak Allah Dan Hak Mukallaf

Oleh: M.ali Erkham

1. DEFINISI

Setiap perbuatan atau aktivitas manusia di dunia ini selalu berkaitan erat dengan hak orang lain ataupun dengan hak Allah SWT. Keterkaitan itu adalah sunnatullah (nature) yang sudah, sedang, dan akan terus berlaku sepanjang masa. Karena itu, ulama Ushul Fiqh memilah hak menjadi 2 (dua) bagian, yaitu hak Allah (haqq Allah) dan hak manusia (haqq mukallaf).

Hak Allah adalah setiap perbuatan mukallaf yang memiliki pengaruh luas dan berhubungan dengan kepentingan masyarakat umum. Pada titik ini si mukallaf tidak mempunyai pilihan/alternatif selain melaksanakannya. Dalam hak Allah ini, keputusannya diserahkan kepada waliyyul amr (penguasa), seperti dalam hukuman qishos, had, atau ta’zir.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap hukum syari’at yang mengandung kemaslahatan bagi masyarakat luas, bukan hanya untuk kepentingan individual, adalah hak Allah. Penisbatan hak ini kepada Allah mengisyaratkan bahwa ia bersifat umum, sehingga tidak ada yang bisa mengklaim sebagai pemiliknya kecuali Allah SWT. semata. Sebab Allah adalah Sang Maha Pemilik alam semesta.

Sementara hak mukallaf adalah setiap perbuatan yang tidak memiliki implikasi di luar diri si mukallaf. Tujuan dari perbuatan tersebut semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri; dan dalam pelaksanaannya dia memiliki pilihan/alternatif.

Selain dua hak di atas, ada pula hak yang tidak murni hak Allah juga tidak murni hak mukallaf. Hak ini merupakan kombinasi antara hak Allah dan hak mukallaf. Cara mengetahuinya cukup mudah. Jika tujuannya lebih banyak untuk kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi, maka yang lebih utama adalah hak Allah dan hukumnya sama seperti hak Allah yang murni. Namun bila perbuatan tersebut lebih banyak mengandung unsur pribadi, maka ia dikategorikan hak mukallaf dan hukumnya sama seperti hak mukallaf yang murni.

2. KLASIFIKASI

Imam Zarkasyi dalam Al Mantsur, membagi hak-hak Allah menjadi 3, yaitu:

1) Ibadah murni, tersusun didalamnya kesempatan untuk memperoleh derajat-derajat dan pahala, dan berhubungan dengan sebab-sebab yang diakhirkan, seperti: nishob, zakat, waku shalat dan puasa.

2) Siksa murni, yang berhubungan dengan larangan-larangan yang telah ditetapkan oleh Allah.

3) kafarot, sesuau yang didalamnya mengandung atau bercampur diantara nilai ibadah dan siksa.

a) Hak Yang Berhubungan Dengan Harta

Adapun hak-hak anak Adam (manusia) yang berhubungan dengan harta, adakalanya diwajibkan dengan adanya sebab secara langsung. Dan tidak ada keguguran di dalamnya, walaupun dalam keadaan tidak mampu secara pasti.

Adapun hak-hak yang berhubungan dengan harta wajib yakni pengeluaran zakatnya ada 3 macam:

1. Sesuatu yang diwajibkan dengan sebab-sebab tidak secara langsung dari hamba, contoh zakat fitrah, jika dalam waktu yang telah ditentukan (wajib) tidak mampu mengeluarkannya, maka hukum tanggungannya hilang. Sehingga walaupun sudah mampu mengeluarkan zakat setelah waktu wajib, maka sudah gugurlah tanggungannya.

2. Sesuatu yang diwajibkan dengan adanya sebab secara langsung, pada segi penggantian. Seperti kafarot pakaian dan biaya kesehatan ketika melaksanakan ihrom. Dan yang shohih adalah sebagaimana dalam syarahnya kitab Muhadzab.

3. Sesuatu yang diwajibkan, tetapi tidak berada pada segi penggantian (Badal), seperti kafarat Zina, bersumpah, membunuh, dan sumpah Dzihar. Didalamnya ada dua Qoul/Pendapat. Dan yang paling Dzohir dari keduanya adalah tetapnya tanggungan dalam keadaan tidak mampu.

Mengenai sesuatu yang menjadi hak murni mukallaf, contohnya tanggung jawab terhadap orang yang merusak harta dengan seimbang atau dengan nilai harganya, hal ini adalah hak murni bagi pemilik harta jika dia menginginkan maka akan memikulnya. dan bila tidak, dia tinggalkan. Menahan benda yang di gadaikan adalah hak murni bagi si penerima gadai. Menagih hutang adalah hak murni bagi orang yang menghutangkan. Jadi syari’ menetapkan hak-hak ini kepada orang–orang yang mempunyai hak-hak itu. Mereka mempunyai hak-hak alternatif, jika berkenaan mereka bisa melaksanakan hak-hak itu. Karena setiap mukallaf memiliki hak untuk memakai haknya. Semua itu tidak tergolong maslahah umum.

Catatan: Imam Syathibi menuturkan dalam Al Muwafaqat bahwasannya segala jenis azimah adalah hak Allah, sedangkan rukhshah adalah hak mukallaf yang merupakan kemurahan dari Allah.

b) Pembagian Hak Allah dan Hak Mukallaf Sesuai Banyaknya Saksi

Hak Allah terbagi menjadi 3 bagian :

1. Hak yang padanya tidak boleh diterima saksi kurang dari empat saksi laki-laki, yaitu perzinaan, Allah berfirman yang artinya : “Dan orang-rang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.” (QS An-Nuur: 4).

2. Hak yang padanya di terima dua orang saksi laki- laki, yaitu perbuatan- perbuatan selain zina.

3. Satu hak yang padanya diterima seorang saksi laki-laki, yaitu orang yang menyaksikan hilal bulan ramadhan.

Adapun hak-hak Allah SWT ini kesaksianya sama sekali tidak boleh diterima dari kaum perempuan. Hal ini mengacu pada pernyataan Imam az-Zuhri:“Seseorang sama sekali tidak boleh dijatuhi hukuman had, kecuali dengan kesaksian dua orang laki-laki.”

Berbeda dengan pembagian hak- hak manusia yang di dalamnya dapat di terima saksi perempuan, dan hak manusia dapat di bagi menjadi 3 bagian pula. Yakni:

a. Suatu hak yang kesaksian hanya boleh diterima dari dua orang saksi laki-laki saja, yaitu suatu hak yang tidak dimaksudkan untuk mendapat harta dan permasalahan ini disaksikan juga oleh orang banyak seperti perkawinan dan perceraian.

Firman Allah SWT: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (QS Ath-Thalaq: 2).

b. Suatu hak yang mana kesaksian boleh diterima dari dua orang saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan dua orang perempuan, atau seorang laki-laki dan si penuduh bersumpah. Masalah ini berkaitan erat dengan harta benda, misalnya jual beli, sewa menyewa, gadai dan semisalnya.

Allah SWT menegaskan: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang mengingatkannya.” (QS Al-Baqarah: 282)

c. Satu hak yang mana kesaksian bisa diterima dari dua orang laki-laki, atau perempuan, yaitu hal-hal yang pada umumnya tidak layak dilihat laki-laki, misalnya penyusunan, kelahiran, dan aib perempuan yang bersifat sangat pribadi.

Secara umum, hak murni bagi Allah berlaku dalam hal-hal berikut:

1. Ibadah Mahdah (murni), seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Juga iman dan Islam yang merupakan pangkal ibadah-ibadah itu. Ibadah- ibadah tersebut berdasarkan dasar–dasarnya, beeertujuan menegakkan agama yang merupakan kepentingan bagi ketertiban masyarakat. Manfa’at di syari’atkanya setiap ibadah diantaranya untuk kepentingan umum bukan untuk kepentingan pribadi mukallaf.

2. Ibadah yang mengandung pengertian kesejahteraan, seperti zakat fitrah. Karena zakat fitrah termasuk ibadah dari segi bahwa ia termasuk sarana mendekatkan diri kepada Allah lantaran bersedekah kepada fakir miskin. Tetapi ia bukan ibadah murni, bahkan di dalamnya terkandung pengertian pajak jiwa demi kelestarian dan demi terpeliharanya jiwa. Hal ini yang di maksud para ‘ulama bahwa di dalamnya terkandung pengertian kesejahteraan.

3. Pajak-pajak yang diwajibkan atas tanah pertanian. Pajak itu berupa penghasilan persepuluhan berdasarkan bea pajak. Pada dasarnya yanmg di tetapkan terhadap pertanian persepuluh itu sepersepuluh atau separuhnya. Sementara yang di tetapkan terhadap pertanian berdasarkan bea pajak, ialah penghasilan tetap atau bagi hasil.

4. Beberapa bentuk pajak yang ditentukan pada harta rampasan dalam perang, dan yang ada diperut bumi berupa harta pertambangan. Syari’ menjadikan 4/5 harta rampasan untuk angkatan perang dan yang 1/5 nya untuk kepentingan umum seperti yang telah di jelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an yang artinya :” ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya 1/5 untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak- anak yatim, orang – orang miskin dan ibnu sabil…….( QS. Al Anfal ayat :41).

Syari’ menjadikan 4/5 dari harta benda dan harta tambang bagi penemunya, dan 1/5 untuk kepentingan umum seperti yang telah di jelaskan oleh Allah dalam ayat tersebut.

5. Macam-macam hukuman sempurna, yaitu pidana zina, pidana pencurian. Pidana para pembangkang yang memerangi ajaran Allah dan Rasul-Nya derta membuat kerusakan atau kekacauan diatas bumi. Hukuman itu demi kemaslahatan masyarakat seluruhnya.

6. Macam hukuman terbatas yaitu terhalangnya si pembunuh untuk mendapatkan harta pusaka. Ini adalah hukuman yang yang terbatas, karena bersifat pasif, di mana si pembunuh dalam hukuman itu tidak mendapatkan siksaan fisik, atau kerugian harta benda. Hukuman macam ini adalah Hak Allah, karena di dalamnya tidak terkandung keuntungan bagi yang membunuh.

7. Beberapa hukum yang didalamnya terkandung pengertian ibadah seperti kafarot orang yang melanggar sumpah, kafarot bagi orang yang tidak berpuasa pada bulan ramadhan dengan sengaja, kafarot bagi orang yang membunuh karena keliru atau tidak sengaja, atau orang yang men-zihar istrinya.

Semua bentuk hukuman ini adalah hak murni bagi Allah. Semua itu untuk merealisir kemaslahatan manusia secara umum, disana mukallaf tidak mempunyai pilihan. Juga tidak mempunyai hak untuk menggugurkan kecuali haknya sendiri. Juga tidak dapat menggugurkan shalat, puasa, haji, zakat, shodakah wajib, atau hukuman diantara hukuman-hukuman itu, karena semua itu bukan haknya.

3. PERTENTANGAN DALAM HAK ALLAH

Jika terjadi pertentangan dalam hak Allah, maka terdapat klasifikasi dalam 4 hal berikut:

a) Sesuatu yang bertentangan waktunya, maka didahulukan akadnya. Seperti mendahulukan shalat fardhu atas shalat sunnah di akhir waktu, begitu juga pada saat qadha shalat jika tidak ada waktu longgar. Kecuali jika waktunya masih panjang.

b) Tidak bertentangan waktunya serta tidak adanya keharusan untuk menguatkan salah satunya, seperti orang yang tertinggal puasa pada dua bulan Ramadhan, maka baginya dapat memulai puasa Ramadhan sesuai dengan apa yang dia kehendaki.

c) Sesuatu yang memiliki bertahap-tahap, maka yang harus didahulukan adalah yang paling kuat, seperti denda wajib dalam ihram dan zakat fitrah.

d) Persoalan yang masih diperselisihkan (khilaf) status hukumnya, seperti orang yang tidak memiliki pakaian (telanjang); apakah dia harus melaksanakan shalat secara sempurna seperti berdiri, rukuk, dan sujud (menjaga rukun-rukun shalat), atau shalat dengan posisi duduk saja, untuk menutup aurat; atau memilih diantara dua posisi tersebut? Pendapat yang paling shahih adalah yang pertama, yakni mendirikan shalat secara sempurna.

4. HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAK MUKALLAF

Hak-hak mukallaf dibagi menjadi dua:

a) Hak-hak mukallaf pada dirinya sendiri, contoh seperti mengedepankan kebutuhan pakaian, tempat tinggal, dan nafkah untuk dirinya. Begitu juga haknya untuk tidur dan makan.

b) Hak sebagian mukallaf pada yang lain. Menarik setiap kemaslahatan wajib atau sunnah, dan menolak kerusakan yang haram atau makruh, yang dibagi menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, sunnah ‘ain dan sunnah kifayah. Sebagai dasar dalilnya adalah firman Allah yang artinya: “Dan tolong-menolong lah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan lah kamu saling tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan bermusuhan. Ini menunjikan larangan terhadap sesuatu yang menyebabkan kepada kerusakan dan memerintah kepada sesuatu yang menghasilkan maslahah.

5. BERKUMPULNYA HAK ALLAH DAN HAK MUKALLAF

Izzudin ibn Abd al-Salam dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam memilah berkumpulnya hak Allah dan hak Mukallaf dalam 3 bagian:

a) Wajib mendahulukan hak Allah, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan menuduh zina.

b) Wajib mendahulukan hak Mukallaf, seperti bolehnya mengucapkan kalimat kufur ketika dipaksa, dan bolehnya tayammum karena takut sakit dan dari sebab-sebab (‘udzur) yang lain.

c) Sesuatu yang masih diperselisihkan (khilaf), seperti seseorang yang mati dan belum membayar zakat serta mempunyai hutang kepada orang lain. Menurut pendapat yang shahih, yang didahulukan adalah hak Allah. Contoh lain, jika kita menemukan bangkai dan makanan orang lain, maka yang diutamakan adalah memakan bangkai dan mendahulukan hak manusia.

Catatan I:

Menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan itu ada dua macam, salah satunya sesuatu yang berhubungan dengan Allah, seperti Taat,iman, meninggalkan kekufuran, dan maksiat. Yang kedua sesuatu yang tersusun dari hak Allah dan hak Mukallaf, seperti zakat, shodakah, kafarot, harta yang sunnah, binatang kurban, hadiah, wasiat dan wakaf. Yang ketiga sesuatu yang tersusun dari hak Allah dan hak Rosulnya dan hak Mukallaf. Adapun hak Rosul SAW. Adalah memberikan kesaksian pada Risalah yang dibawanya.

Catatan II:

Perbuatan maksiat bisa berhubungan dengan hak Allah atau hak mukallaf. Contoh pertama (berhubungan dengan hak Allah) adalah meninggalkan shalat, puasa,, atau zakat. Orang yang meninggalkan kewajiban-kewajiban tersebut tidak sah taubatnya sampai dia meng-qadla’nya. Contoh kedua (berhubungan dengan hak mukallaf) adalah kewajiban bertaubat dari hak mukallaf, sedangkan berbuat zalim merupakan maksiat, dan terkena jinayat atas nama hak Allah.

6. KESIMPULAN

Hak itu adakalanya murni hak Allah dan adakalanya murni hak mukallaf. Tapi terkadang dua hak itu berkumpul, sehingga membutuhkan pendalaman serius untuk mengetahui tinggi-rendahnya kualitas keduanya.

Jika hak Allah lebih dominan, maka yang diprioritaskan adalah hak Allah. Tapi bila hak mukallaf yang lebih dominan, maka hak mukallaf lah yang diutamakan. Contohnya adalah mendakwa zina (had al-qadf). Bila dakwaan zina itu bisa mendatangkan kebaikan bagi masyarakat luas, maka ia adalah hak Allah karena manfaatnya bersifat umum. Tapi bila dakwaan tersebut dilakukan hanya untuk menutupi aib dari terdakwa, maka ia adalah hak mukallaf. Dalam kondisi seperti ini (hak mukallaf lebih dominan), maka dalam masalah qishos, dia boleh mengambil diyat saja atau memaafkan.

read more “Hak Allah Dan Hak Mukallaf”

Jumat, 05 Juni 2009

AHLI ASBAB DAN AHLI TAJRID

Ahli Asbab dan Ahli Tajrid (Terjemah syarah Hikam 2)

Artinya: Keinginan kamu untuk bertajrid padahal Allah masih meletakkan kamu dalam suasana asbab adalah syahwat yang samar, sebaliknya keinginan kamu untuk berasbab padahal allah telah meletakkan kamu dalam suasana tajrid bererti turun dari semangat dan tingkat yang tinggi.

Hikmat 1 menerangkan tanda orang yang bersandar kepada amal. Bergantung kepada amal adalah sifat manusia biasa yang hidup dalam dunia ini. Dunia ini dinamakan alam asbab. Apabila perjalanan hidup keduniaan dipandang melalui mata ilmu atau mata akal akan dapat disaksikan kerapian susunan sistem sebab musabab yang mempengaruhi segala kejadian. Tiap sesuatu terjadi pasti disebabkan oleh sesuatu. Hubungan sebab dengan akibat sangat erat. Mata akal melihat dengan jelas peranan sebab dalam menentukan akibat. Kerapian sistem sebab musabab ini bisa membuat manusia mengambil manfaat dari analisa dan kejadian alam. Manusia dapat menentukan bisa yang bisa membahayakan kesehatan lalu menjauhkannya dan manusia juga bisa menentukan mana yang bisa dijadikan obat, lalu menggunakannya. Manusia bisa membuat ramalan cuaca, pasang surut air laut, angin, ombak, letusan gunung berapi dan lain-lain karena sistem yang mengawal perjalanan alam yang berada dalam suasana yang sangat rapi dan sempurna, sehingga membentuk hubungan sebab dan akibat yang terpadu.

Allah s.w.t menjadikan sistem sebab musabab dengan sangat rapi adalah untuk memudahkan manusia dalam menyusun kehidupan mereka di dunia ini. Kekuatan akal dan pancaindera manusia mampu menjelaskan kehidupan yang dikaitkan dengan perjalanan sebab musabab. Hasil dari perhatian dan kajian akal itulah lahir berbagai macam jenis ilmu tentang alam dan kehidupan, seperti ilmu sains, astronomi, kedoktoran, teknologi maklumat dan sebagainya. Semua jenis ilmu itu dibentuk berdasarkan perjalanan hukum sebab-akibat.

Kerapian sistem sebab musabab menyebabkan manusia terikat kuat dengan hukum sebab-akibat. Manusia bergantung kepada amal (sebab) dalam mendapatkan hasil (akibat). Manusia yang melihat kepada peran sebab dalam menentukan akibat serta bersandar dengannya dinamakan ahli asbab.

Sistem sebab musabab atau perjalanan hukum sebab-akibat sering membuat manusia lupa kepada kekuasaan Allah s.w.t. Mereka melakukan sesuatu dengan penuh keyakinan bahawa akibat akan lahir daripada sebab, seolah-olah Allah s.w.t tidak ikut campur dalam urusan mereka. Allah s.w.t tidak suka hamba-Nya ‘mempertuhankan’ sesuatu kekuatan sehingga mereka lupa kepada kekuasaan-Nya. Allah s.w.t tidak suka jika hamba-Nya sampai kepada tahap mempersekutukan diri-Nya dan kekuasaan-Nya dengan alam dan hukum sebab-akibat yang telah diciptakan-Nya. Dia yang menata sedemikian rapinya hukum sebab-akibat tersebut.

Dia juga berkuasa untuk merubah hukum tersebut. Dia mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi dengan membawa mukjizat untuk merubah hukum sebab-akibat dan membawa manusia kembali ke jalan-Nya,sehingga sebab musabab tidak lagi menjadi hijab ketuhanan-Nya. Kelahiran Nabi Isa a.s, terbelahnya laut dipukul oleh tongkat Nabi Musa a.s, apiyang berkobar-kobar tetapi tidak bisa membakar Nabi Ibrahim a.s, keluarnya air yang jernih dari jari-jari Nabi Muhammad s.a.w dan banyak lagi, Semua itu untuk menyadarkan manusia bahwa pada hakekatnya Allah lah yang berkuasa bukan karena sebab musabab. Alam dan hukum yang ada seharusnya membuat manusia bisa mengenal Tuhan, bukan menutup pandangan kepada Tuhan. Sebagian dari manusia telah diselamatkan Allah s.w.t dari salah pentafsiran tentang sebab musabab.

Sebagai manusia yang hidup dalam dunia, mereka masih bergerak dalam arus sebab musabab tetapi mereka tidak meletakkan peranan hukum kepada sebab. Mereka sentiasa melihat kekuasaan Allah s.w.t yang menetapkan atau mencabut dampk pada sesuatu hukum sebab-akibat. Jika sesuatu sebab berhasil mengeluarkan akibat menurut yang biasa terjadi, mereka melihatnya sebagai kekuasaan Allah s.w.t yang menetapkan kekuatan kepada sebab tersebut dan Allah s.w.t juga yang mengeluarkan akibatnya. Allah s.w.t berfirman:

Artinya: Segala yang ada di langit dan di bumi selalu mengucap tasbih kepada Allah; dan Dialah Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. Dialah saja yang menguasai dan memiliki langit dan bumi; Ia menghidupkan dan mematikan; dan Ia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. (Surah al-Hadiid:1-2)

Artinya: Maka Kami (Allah) berfirman: “Pukullah si mati dengan sebahagian anggota lembu yang kamu sembelih itu”. (Mereka pun memukulnya dan ia kembali hidup). Demikianlah Allah menghidupkan orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepada kamu tanda-tanda kekuasaan-Nya, supaya kamu memahaminya. (Surah al-Baqarah: 73)

Orang yang melihat kepada kekuasaan Allah s.w.t memandang bukan hukum sebab-akibat yang berlaku pada hukum tersebut. Ia hanya bersandar kepada Allah s.w.t, bukan kepada amal yang menjadi sebab. Orang yang seperti ini disebut ahli tajrid.

Ahli tajrid, seperti juga ahli asbab, melakukan sesuatu menurut peraturan sebab-akibat. Ahli tajrid juga makan dan minum Ahli tajrid memanaskan badan dan memasak dengan menggunakan api juga. Ahli tajrid juga melakukan sesuatu pekerjaan yang berhubungan dengan rezekinya. Tidak ada perbedaan di antara amal ahli tajrid dengan amal ahli asbab. Perbedaannya terletak di dalam diri yaitu hati. Ahli asbab melihat kepada kekuatan hukum alam. Ahli tajrid melihat kepada kekuasaan Allah s.w.t pada hukum alam itu. Walaupun ahli asbab mengakui kekuasaan Allah s.w.t tetapi penghayatan dan kekuatannya pada hati tidak sekuat ahli tajrid.

Dalam melakukan kebaikan ahli asbab perlu melakukan mujahadah. Mereka perlu memaksa diri mereka berbuat baik dan perlu menjaga kebaikan itu agar tidak menjadi rusak. Ahli asbab perlu memperingatkan dirinya supaya berbuat ikhlas dan perlu melindungi keikhlasannya agar tidak dirusakkan oleh riak (berbuat baik untuk diperlihatkan kepada orang lain agar dia dikatakan orang baik), takabur (sombong dan membesar diri, merasakan diri sendiri lebih baik, lebih tinggi, lebih kuat dan lebih cerdik daripada orang lain) dan sum’ah (membawa perhatian orang lain kepada kebaikan yang telah dibuatnya dengan cara bercerita mengenainya, agar orang mengakui bawa dia adalah orang baik). Jadi, ahli asbab perlu memelihara kebaikan sebelum melakukannya dan juga setelah melakukannya. Suasana hati ahli tajrid berbeda dengan apa yang dialami oleh ahli asbab. Jika ahli asbab memperingatkan dirinya supaya ikhlas, maka ahli tajrid tidak melihat kepada ikhlas kerana mereka tidak bersandar kepada amal kebaikan yang mereka lakukan. Apa juga kebaikan yang keluar dari mereka diserahkan kepada Allah s.w.t yang mengaruniakan kebaikan tersebut. Ahli tajrid tidak perlu menentukan perbuatannya ikhlas atau tidak ikhlas. Melihat keihklasan pada perbuatan sama dengan melihat diri sendiri yang ikhlas. Apabila seseorang merasakan dirinya sudah ikhlas, padanya masih tersembunyi keegoan diri yang membawa kepada riak, ujub (merasakan diri sendiri sudah baik) dan sum’ah. Apabila tangan kanan berbuat ikhlas dalam keadaan tangan kiri tidak menyedari perbuatan itu baharulah tangan kanan itu benar-benar ikhlas. Orang yang ikhlas berbuat kebaikan dengan melupakan kebaikan itu. Ikhlas sama seperti harta benda. Jika seorang miskin diberi harta oleh jutawan, orang miskin itu malu mendabik dada kepada jutawan itu dengan mengatakan yang dia sudah kaya. Orang tajrid yang diberi ikhlas oleh Allah s.w.t mengembalikan kebaikan mereka kepada Allah s.w.t. Jika harta orang miskin itu hak si jutawan tadi, ikhlas orang tajrid adalah hak Allah s.w.t. Jadi, orang asbab bergembira kerana melakukan perbuatan dengan ikhlas, orang tajrid pula melihat bahwa Allah s.w.t yang menentukan semua urusan. Ahli asbab dibawa kepada syukur, ahli tajrid berada dalam penyerahan.

Kebaikan yang dilakukan oleh ahli asbab merupakan teguran agar mereka ingat kepada Allah s.w.t yang memimpin mereka kepada kebaikan. Kebaikan yang dilakukan oleh ahli tajrid merupakan karunia Allah s.w.t kepada kumpulan manusia yang tidak memandang kepada diri mereka dan kepentingannya. Ahli asbab melihat kepada peranan hukum sebab-akibat. Ahli tajrid pula melihat kepada peranan kekuasaan dan ketentuan Allah s.w.t. Dari kalangan ahli tajrid, Allah s.w.t memilih sebagian dan meletakkan kekuatan hukum pada mereka. Kumpulan ini bukan sekadar tidak melihat kepada peranan hukum sebab-akibat, malah mereka berkekuatan menguasai hukum sebab-akibat itu. Mereka adalah nabi-nabi dan wali-wali pilihan. Nabi-nabi dianugerahkan mukjizat dan wali-wali dianugerahkan kekeramatan. Mukjizat dan kekeramatan merubah peranan hukum sebab-akibat.

Di dalam kumpulan wali-wali pilihan yang dikaruniakan kekuatan mengawal hukum sebab-akibat itu terdapat orang-orang seperti Syeikh Abdul Kadir al-Jailani, Abu Hasan as-Sazili, Rabiatul Adawiah, Ibrahim Adham dan lain-lain. Cerita tentang kekeramatan mereka sering diperdengarkan. Orang yang cenderung kepada tarekat tasawuf gemar menjadikan kehidupan aulia’ Allah s.w.t tersebut sebagai contoh, dan yang mudah memikat perhatian adalah bagian kekeramatan. Kekeramatan biasanya dikaitkan dengan perilaku kehidupan yang zuhud dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Timbul anggapan bahawa jika mau memperoleh kekeramatan seperti mereka maka harus hidup sebagaimana mereka. Orang yang berada pada peringkat permulaan bertarekat cenderung untuk memilih jalan bertajrid yaitu membuang segala ikhtiar dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Sikap melalui bertajrid membuat seseorang meninggalkan pekerjaan, isteri, anak-anak, masyarakat dan dunia seluruhnya. Semua harta disedekahkan karena dia melihat Saidina Abu Bakar as-Siddik telah berbuat demikian. Ibrahim bin Adham telah meninggalkan takhta kerajaan, isteri, anak, rakyat dan negerinya lalu tinggal di dalam gua. Biasanya orang yang bertindak demikian tidak dapat bertahan lama. Sesudah itu dia mungkin meninggalkan kumpulan tarekatnya dan kembali kepada kehidupan duniawi. Ada juga yang kembali kepada kehidupan yang lebih buruk daripada keadaannya sebelum bertarekat dahulu kerana dia mau menebus kembali apa yang telah ditinggalkannya dahulu untuk bertarekat. Keadaan yang demikian berlaku akibat bertajrid secara berlebihan. Orang yang baru masuk ke dalam bidang latihan kerohanian sudah mau beramal seperti aulia Allah s.w.t yang sudah berpuluh-puluh tahun melatihkan diri. Tindakan mencampakan semua yang dimilikinya secara tergesa-gesa membuatnya berhadapan dengan ejekan dan prasangka yang bisa menggoncangkan imannya dan mungkin juga membuatnya berputus-asa. Apa yang harus dilakukan bukanlah meniru kehidupan aulia Allah s.w.t yang telah mencapai makam yang tinggi secara berlebihan. Seseorang haruslah melihat kepada dirinya dan mengenal pasti kedudukannya, kemampuanya dan daya-tahannya. Ketika masih di dalam makam asbab seseorang haruslah bertindak sesuai dengan hukum sebab-akibat. Dia harus bekerja untuk mendapatkan rezekinya dan harus pula berusaha menjauhkan dirinya dari bahaya atau kemusnahan.

Ahli asbab perlu berbuat demikian kerana dia masih terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dia masih melihat bahwa tindakan makhluk masih memberi kesan kepada dirinya. Oleh sebab itu wajar jika dia melakukan tindakan, menurut pandangannya akan mendatangkan kesejahteraan kepada dirinya dan orang lain. Tanda Allah s.w.t meletakkan seseorang pada kedudukan sebagai ahli asbab ialah apabila urusannya dan tindakannya yang menurut kesesuaian hukum sebab-akibat tidak menyebabkannya mengabaikan kewajiban terhadap tuntutan agama. Dia tetap merasa ringan untuk berbakti kepada Allah s.w.t, tidak terjerumus oleh nikmat duniawi dan tidak merasa iri hati terhadap orang lain. Apabila ahli asbab berjalan menurut hukum asbab maka jiwanya akan maju dan berkembang dengan baik tanpa menghadapi kegoncangan yang besar yang bisa menyebabkan dia berputus asa dari rahmat Allah s.w.t. Rohaninya akan menjadi kuat sedikit demi sedikit dan membawanya ke dalam makam tajrid secara selamat. Akhirnya dia mampu untuk bertajrid sepenuhnya.

Ada pula orang yang dipaksa oleh takdir supaya bertajrid. Orang ini asalnya adalah ahli asbab yang berjalan menurut hukum sebab-akibat sebagaimana orang ramai. Kemungkinannya kehidupan seperti itu tidak menambahkan kematangan rohaninya. Perubahan jalan perlu baginya supaya dia bisa maju dalam bidang kerohanian. Oleh karena itu takdir bertindak memaksanya untuk terjun ke dalam lautan tajrid. Dia akan mengalami keadaan di mana hukum sebab-akibat tidak lagi membantunya untuk menyelesaikan masalahnya. Jika dia seorang raja, takdir mencabut kerajaannya. jika dia seorang hartawan, takdir menghapuskan hartanya. Jika dia seorang yang cantik, takdir menghilangkan kecantikannya itu. Takdir memisahkannya dariapa yang dimiliki dan dikasihinya. Pada peringkat permulaan menerima kedatangan takdir yang demikian, sebagai ahli asbab, dia berikhtiar menurut hukum sebab-akibat untuk mempertahankan apa yang dimiliki dan dikasihinya. Jika dia tidak berdaya untuk menolong dirinya dia akan meminta pertolongan orang lain. Setelah puas dia berikhtiar termasuklah bantuan orang lain namun, tangan takdir tetap juga merubah sistem sebab-akibat yang terjadi ke atas dirinya. Apabila dia sendiri dengan dibantu oleh orang lain tidak mampu mengatasi arus takdir maka dia tidak ada pilihan kecuali berserah kepada takdir. Dalam keadaan begitu dia akan lari kepada Allah s.w.t dan merayu agar Allah s.w.t menolongnya. Pada peringkat ini seseorang itu akan kuat beribadat dan menyerahkan sepenuh hatinya kepada Tuhan. Dia benar-benar berharap Tuhan akan menolongnya mengembalikan apa yang pernah dimilikinya dan dikasihinya. Tetapi, pertolongan tidak juga sampai kepadanya sehingga dia benar-benar terpisah dari apa yang dimiliki dan dikasihinya itu. putuslah harapannya untuk memperolehnya kembali. Ikhlaslah dia dengan perpisahan itu. Dia tidak lagi merayu kepada Tuhan sebaliknya dia menyerahkan segala urusannya kepada Tuhan. Dia menyerah bulat-bulat kepada Allah s.w.t, tidak ada lagi ikhtiar, pilihan dan kehendak diri sendiri. Jadilah dia seorang hamba Allah s.w.t yang bertajrid. Apabila seseorang hamba benar-benar bertajrid maka Allah s.w.t sendiri akan menguruskan kehidupannya. Allah s.w.t menggambarkan suasana tajrid dengan firman-Nya:

Artinya: Dan (ingatlah) berapa banyak binatang yang tidak membawa rezekinya bersama, Allah jualah yang memberi rezeki kepadanya dan kepada kamu; dan Dialah jua Yang Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui. (Surah al-‘Ankabut: 60)

Makhluk Allah s.w.t seperti burung, ikan, kuman dan sebagainya tidak memiliki tempat simpanan makanan. Mereka adalah ahli tajrid yang dijamin rezeki mereka oleh Allah s.w.t. Jaminan Allah s.w.t itu meliputi juga bangsa manusia. Tanda Allah s.w.t meletakkan seseorang hamba-Nya di dalam makam tajrid ialah Allah s.w.t memudahkan baginya rezeki yang datang dari arah yang tidak diduganya. Jiwanya tetap tenteram sekalipun terjadi kekurangan pada rezeki atau ketika menerima ujian.

Jika ahli tajrid sengaja memindahkan dirinya kepada makam asbab maka ini bermakna dia melepaskan jaminan Allah s.w.t lalu bersandar kepada makhluk . Ini menunjukkan akan kejahilannya tentang rahmat dan kekuasaan Allah s.w.t. Tindakan yang jahil itu bisa menyebabkan berkurangnya atau hilangnya keberkahan yang Allah s.w.t karuniakan kepadanya. Misalnya, seorang ahli tajrid yang tidak mempunyai pekerjaan kecuali membimbing orang kepada jalan Allah s.w.t, walaupun tidak mempunyai pekerjaan namun, rezeki datang kepadanya dari berbagai-bagai arah dan tidak pernah putus tanpa dia meminta-minta atau mengharap-harap. Pengajaran yang disampaikan kepada murid-muridnya sangat berkesan sekali. Keberkahannya amat terlihat seperti makbul doa dan ucapannya biasanya menjadi kenyataan. Andainya dia meninggalkan suasana bertajrid lalu berasbab karena tidak puas hati dengan rezeki yang diterimanya maka keberkatannya akan terkikis. Pengajarannya, doanya dan ucapannya tidak seberkesan dahulu lagi. Ilham yang datang kepadanya tersekat-sekat dan kefasihan lidahnya tidak selancar biasa.

Seseorang hamba haruslah menerima dan reda dengan kedudukan yang Allah s.w.t kurniakan kepadanya. Berserahlah kepada Allah s.w.t dengan yakin bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah s.w.t tahu apa yang patut bagi setiap makhluk-Nya. Allah s.w.t sangat bijak mengatur urusan hamba-hamba-Nya.

Keinginan kepada pertukaran makam merupakan tipu daya yang sangat halus. Di dalamnya tersembunyi rangsangan nafsu yang sukar disadari. Nafsu di sini termasuk kehendak, cita-cita dan angan-angan. Orang yang baru terbuka pintu hatinya setelah lama hidup di dalam kelalaian, akan mudah tergerak untuk meninggalkan suasana asbab dan masuk ke dalam suasana tajrid. Orang yang telah lama berada dalam suasana tajrid, apabila kesedaran dirinya kembali sepenuhnya, ikut kembali kepadanya adalah keinginan, cita-cita dan angan-angan. Nafsu mencoba untuk bangkit semula menguasai dirinya. Orang asbab perlulah menyadari bahwa keinginannya untuk berpindah kepada makam tajrid itu mungkin secara halus digerakkan oleh ego diri yang tertanam jauh dalam jiwanya. Orang tajrid juga harus sadar keinginannya untuk kembali kepada asbab itu mungkin didorong oleh nafsu rendah yang masih belum berpisah dari hatinya. Ulama tasawuf mengatakan seseorang mungkin dapat mencapai semua makam nafsu, tetapi nafsu peringkat pertama tidak kunjung padam. Oleh karena itu perjuangan atau mujahadah mengawasi nafsu sentiasa berjalan.

read more “AHLI ASBAB DAN AHLI TAJRID”

Kamis, 04 Juni 2009

Perbuatan zahir dan suasana hati

Perbuatan Zahir dan Suasana Hati (terjemah dari Syarah Al-Hikam 1)

Artinya: Sebahagian daripada tanda bersandar kepada amal (perbuatan zahir) adalah berkurangan harapannya (suasana hati) tatkala berlaku padanya kesalahan.

Melalui Kalam Hikmat 1 ini Imam Ibnu Athaillah mengajak kita untuk merenung kepada hakikat amal. Amal dibagi menjadi dua jenis yaitu perbuatan zahir dan perbuatan hati atau suasana hati yang dihubungkan dengan perbuatan zahir itu.

Semua orang boleh melakukan perbuatan zahir yang sama, tetapi yang membedakannya adalah suasana hati yang terhubung dengan perbuatan zahir tersebut. Dampak amalan zahir terhadap setiap orang pasti berbeda. Jika amalan zahir itu mempengaruhi suasana hati, maka hati itu dikatakan bersandar kepada amalan zahir. Jika hati dipengaruhi juga oleh amalan hati, maka hati itu dikatakan bersandar juga kepada amal, sekalipun hanya amalan batin.

Hati yang bebas dari ketergantungan bersandar kepada amal zahir ataupun amal batin adalah hati yang menghadap kepada Allah s.w.t dan menyerahkan semuanya kepada-Nya tanpa berharap apapun, serta menyerahkan sepenuhnya kepada Allah s.w.t tanpa takwil atau tuntutan. Maksudnya adalah tidak menjadikan amal, baik amal zahir ataupu batin sebagai alat untuk mendapatkan sesuatu dari Allah . Amalan tidak menjadi perantara antara dia dengan Allah. Orang yang seperti ini tidak membataskan kekuasaan dan kemurahan Tuhan untuk tunduk kepada perbuatan manusia.

Allah s.w.t Yang Maha Kuasa berbuat sesuatu menurut kehendak-Nya tanpa dipengaruhi oleh siapapun dan oleh apapun. Apa saja yang mengenai Allah s.w.t adalah mutlak, tiada had, persamaan dan keterbatasan. Oleh kerana itu orang arif tidak menjadikan amalan sebagai sesuatu yang memaksa Allah s.w.t berbuat sesuatu menurut perbuatan makhluk. kekuasaan Allah s.w.t berada atas kekuasaan makhluk.

Tidak pernah terjadi Allah s.w.t mengikuti perkataan dan perbuatan seseorang atau sesuatu. Sebelum menjadi seorang yang arif, hati manusia memang terhubung rapat dengan amalan dirinya, baik yang zahir mahu pun yang batin. Manusia yang kuat bersandar kepada amalan zahir adalah mereka yang mencari faedah keduniaan dan mereka yang kuat bersandar kepada amalan batin adalah yang mencari faedah akhirat.

Kedua-dua jenis manusia tersebut percaya bahwa amalannya menentukan apa yang akan mereka dapatkan baik di dunia maupun di akhirat. Kepercayaan yang demikian kadang-kadang membuat manusia menjadi kurang berserah diri kepada Allah. Mereka cenderung bergantung kepada amalan saja, ataupun jika mereka bergantung kepada Allah s.w.t, itu bercampur dengan keraguan.

Seseorang manusia boleh introspeksi diri, seberapa jauh mereka berserah diri kepada Allah s.w.t. Kalam Hikmat 1 yang dikeluarkan oleh Ibnu Athaillah ini memberi petunjuk terhadap hal tersebut. Lihatlah kepada hati apabila kita terperosok ke dalam perbuatan maksiat atau dosa. Jika kesalahan yang demikian membuat kita berputus asa daripada rahmat dan pertolongan Allah s.w.t itu tandanya ketergantungan kita kepada-Nya sangat lemah. Firman-Nya:

Artimya: “Wahai anak-anakku! Pergilah dan intiplah khabar berita mengenai Yusuf dan saudaranya, dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat serta pertolongan Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah melainkan kaum yang kafir ”. (Yusuf: 87 )

Ayat di atas menceritakan bahawa orang yang beriman kepada Allah s.w.t menyerahkan semuanya kepada-Nya walau dalam keadaan apapun. bergantung kepada Allah s.w.t membuat hati tidak berputus asa dalam menghadapi cobaan hidup. Kadang-kadang sesuatu yang diinginkan, yang direncanakan dan diusahakan tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Kegagalan mendapatkan sesuatu yang diinginkan bukan bermakna tidak menerima pemberian Allah. Tetapi bagi orang yang beriman dan bergantung kepada-Nya maka ketika itulah Allah melimpahkan rahmat-Nya. Bagi orang yang beriman dibalik semua pemberian Allah pasti ada hikmahnya, meskipun berupa kegagalan. Keyakinan tersebut menjadikan orang yang beriman tabah menghadapi cobaan hidup, tidak sekali-kali mereka berputus asa. Mereka yakin bahwa apabila mereka sandarkan segala perkara kepada Allah s.w.t, maka semua amal yang mereka lakukan tidak sia-sia.

Berbeda dengan orang yang tidak beriman kepada Allah s.w.t. Ketergantungan mereka hanya tertuju kepada amalan mereka (ilmu dan usaha). Apabila mereka mengadakan sesuatu usaha berdasarkan keahlian dan pengetahuan yang mereka miliki, mereka mengharapkan akan mendapat hasil yang sesuai. Jika ilmu dan usaha (termasuklah pertolongan orang lain) gagal mendatangkan hasil, mereka tidak mempunyai tempat bersandar lagi. Jadilah mereka orang yang berputus asa. Mereka tidak dapat melihat hikmat kebijaksanaan Allah s.w.t yang mengatur perjalanan takdir dan mereka tidak mendapat rahmat dari-Nya.

Jika orang kafir tidak bersandar kepada Allah s.w.t dan mudah berputus asa, di kalangan sebagian orang Islam juga ada yang demikian, bergantung seberapa banyak sifat mereka yang sama dengan sifat orang kafir. Orang yang seperti ini melakukan amalan kerana kepentingan diri sendiri, bukan karena Allah s.w.t. Orang ini mungkin mengharapkan dengan amalannya itu dia dapat memperoleh kemakmuran hidup di dunia. Dia mengharapkan semoga amal kebaikan yang dilakukannya dapat mengeluarkan hasil dalam bentuk bertambah rezekinya, kedudukannya atau pangkatnya, orang lain semakin menghormatinya dan dia juga dihindarkan dari penyakit, kemiskinan dan sebagainya. Bertambah banyak amal kebaikan yang dilakukannya bertambah besarlah harapan dan keyakinannya untuk mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya.

Sebagian kaum muslimin yang lain mengaitkan amal kebaikan dengan kemuliaan hidup di akhirat. Mereka memandang amal salih sebagai tiket untuk memasuki syurga, juga untuk menjauhkan azab api neraka. Kerohanian orang yang bersandar kepada amal sangat lemah, terutama mereka yang mencari keuntungan keduniaan dengan amal mereka. Mereka tidak tahan menempuh ujian. Mereka mengharapkan perjalanan hidup mereka sentiasa selesai dan berjalan sesuai yang mereka rencanakan. Apabila sesuatu terjadi di luar dugaan, mereka cepat marah dan gelisah. Bencana membuat mereka merasa bahwa merekalah manusia yang paling malang di atas muka bumi ini. Bila berhasil memperoleh sesuatu kebaikan, mereka menganggap bahwa keberhasilan itu disebabkan kepandaian dan keahlian mereka sendiri. Mereka mudah menjadi marah serta sombong.

Apabila rohani seseorang bertambah teguh, dia selalu melihat amal itu sebagai jalan untuknya mendekatkan diri dengan Tuhan. Hatinya tidak lagi cenderung kepada faedah duniawi dan ukhrawi tetapi dia berharap untuk mendapatkan karunia Allah s.w.t seperti terbuka hijab-hijab yang menutupi hatinya. Orang ini merasakan bahwa amalnya yang membawa kepada Tuhan. Dia sering menghubung-hubungkan bahwa keberhasilannya di bidang rohani disebabkan karena amal yang banyak mereka lakukan, seperti berzikir, sembahyang sunat, berpuasa dan lain-lain. Bila dia tertinggal melakukan amal yang biasa dilakukannya atau bila dia tergelincir melakukan kesalahan maka dia merasa dijauhkan oleh Tuhan. Inilah tingkatan pertama bagi seseorang yang ingin mendekatkan diridengan Tuhan melalui amalan tarekat tasawuf.

Jadi, ada golongan yang bersandar kepada amal semata-mata dan ada pula golongan yang bersandar kepada Tuhan melalui amal. Kedua-dua golongan tersebut berpegang kepada kekuatan amal dalam mendapatkan sesuatu. Golongan pertama kuat berpegang kepada amal zahir, yaitu perbuatan zahir yang dinamakan usaha atau ikhtiar. Jika mereka gagal dalam berikhtiar, maka hilanglah harapan mereka untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ahli tarekat yang masih diperingkat awal, yaitu orang yang kuat bersandar kepada amalan batin seperti sembahyang dan berzikir. Jika mereka tertinggal melakukan amalan yang biasa mereka lakukan, akan berkurang harapan mereka untuk mendapatkan anugerah dari Allah s.w.t. Sekiranya mereka tergelincir melakukan dosa, putuslah harapan mereka untuk mendapatkan anugerah Allah s.w.t.

Dalam masalah bersandar kepada amal ini, termasuklah juga bersandar kepada ilmu, baik ilmu zahir atau ilmu batin. Ilmu zahir adalah ilmu yang menjelaskan dan mempelajari sesuatu perkara berdasarkan kekuatan akal. Sedangkan Ilmu batin adalah ilmu yang menggunakan kekuatan batin untuk mendapatkan sesuatu. Ini termasuk juga penggunaan ayat-ayat al-Quran dan jampi. Kebanyakan orang lebih bergantung kepada ayat, jampi dan usaha, dari pada Allah s.w.t. Kemudaian, jika Allah Mengizinkan, kerohanian seseorang akan meningkat kepada makam yang lebih tinggi. Jika dia percaya dengan sepenuh hati terhadap kalimat:

Artinya: Tiada daya dan upaya kecuali Allah.

Artinya: “Padahal Allah yang menciptakan kamu dan benda-benda yang kamu perbuat itu!” (Surah as- Saaffaat Ayat 96 )

Di dalam makam ini seseorang tidak lagi melihat kepada amalnya. Walaupun banyak amal yang telah dilakukannya namun, hatinya tetap menganggap bahwa semua amalan tersebut adalah karunia Allah s.w.t kepadanya. Jika tidak karena taufik dan hidayat dari Allah s.w.t tentu tidak ada amal kebaikan yang dapat dilakukannya. Allah s.w.t berfirman:

Arinya:“Ini adalah limpahan rahmat dari Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau justru mengkufuri nikmat yang telah diberikan-Nya. Dan (sebenarnya) barangsiapa yang bersyukur maka faedah syukurnya itu akankembali kepada dirinya sendiri, dan barangsiapa yang tidak bersyukur (maka tidaklah menjadi masalah kepada Allah), karena sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya, lagi Maha Pemurah”. (Surah an-Naml: Ayat 40 )

Artinya: Dan tiadalah kamu berkemahuan (melakukan sesuatu perkara) melainkan dengan cara yang dikehendaki Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana (menjalankan sesuatu yang dikehendaki-Nya). Ia memasukkan siapa yang Dia kehendaki (menurut aturan yang ditetapkan) ke dalam rahmat-Nya (dengan ditempatkan-Nya di dalam syurga); dan orang-orang yang zalim, Ia menyediakan untuk mereka azab siksa yang tidak terkira pedihnya.(Surah al-Insaan: 30 & 31 )

Semuanya adalah karunia Allah s.w.t dan akan selalu menjadi milik-Nya. Orang ini melihat kepada takdir yang telah ditentukan Allah s.w.t. Makam ini dinamakan makam ariffin yaitu orang yang mengenal Allah s.w.t. Golongan ini tidak lagi bersandar kepada amal tetapi, merekalah yang paling kuat mengerjakan amal ibadat.

Orang yang masuk ke dalam lautan takdir, ikhlas terhadap segala sesuatu yang ditentukan Allah s.w.t, mereka akan sentiasa tenang, tidak berdukacita bila kehilangan sesuatu. Mereka tidak sudah tidak lagi melihat makhluk sebagai penyebab terjadinya sesuatu.

Di awal perjalanan menuju Allah s.w.t, seseorang itu kuat beramal menurut tuntutan syariat. Dia melihat amalan itu sebagai kendaraan yang akan membawanya hampir sampai kepada Allah s.w.t. Semakin kuat dia beramal semakin besarlah harapannya untuk berhasil dalam perjalanannya. Apabila dia mencapai satu tahap, pandangan mata hatinya terhadap amal perbuatan akan mulai berubah. Dia tidak lagi melihat amalan sebagai alat atau penyebab. Pandangannya beralih kepada karunia Allah s.w.t. Dia melihat semua amalannya adalah karunia yang diberikan Allah kepadanya. Kemudia terbukalah hijab yang menutupi dirinya dan dia mengenali dirinya serta mengenali Tuhannya. Dia melihat dirinya sangat lemah, hina, jahil, serba kekurangan dan faqir. Tuhan adalah Maha Kaya, Berkuasa, Mulia, Bijaksana dan Sempurna dalam segala segi. Bila dia sudah mengenali dirinya dan Tuhannya, pandangan mata hatinya tertuju kepada Kudrat dan Iradat Allah s.w.t yang merajai segala sesuatu dalam jagad raya ini. Jadilah dia seorang arif yang sentiasa memandang kepada Allah s.w.t, berserah diri kepada-Nya, bergantung dan memohon kepada-Nya. Dia hanyalah hamba Allah s.w.t yang faqir.

read more “Perbuatan zahir dan suasana hati”

Profil Pengasuh Pondok Pesantren Ngalah

Dengan memanjatkan puji syukur yang sebenar-benarnya kepada Alloh Swt. atas ni'mat karuniah-Nya kepada kita semua dan sanjungan kepada junjungan kita, nabi Muhammad Saw. akan diuraikan profil singkat dari al-mukarrom Syaikhun al-Kabir al-Kirom KH. M. Sholeh Bahruddin dan semoga bisa bermanfaat bagi semua, amin.

Silsilah dan Keluarga KH. M. Sholeh Bahruddin KH. M. Sholeh Bahruddin dilahirkan di desa Ngoro Kabupaten Mojokerto pada hari Sabtu, 25 Sya'ban tahun 1372 H atau bertepatan pada tanggal 09 Mei tahun 1953 M. Ayahnya bernama KH. Mohammad Bahruddin (almarhum) kelahiran Juwet-Porong-Sidoarjo, 1346 H/1926 M dan ibunya bernama Siti Shofrotun putri K. Imam Asy'ari Ngoro-Mojokerto. Beliau mempunyai 11 saudara, yaitu:

1. KH. M. Sholeh Bahruddin sendiri 2. Muhammad Anshori : 3. KH. M. Mansyur : Ngembe-Dlanggu-Mojokerto 4. Muhammad Ghufron (almarhum) : Sugeng-Trawas-Mojokerto 5. Siti Maryam : Carat-Gempol-Pasuruan 6. Muhammad Dhofir : Modopuro-Mojosari-Mojokerto 7. Muhammad Ridwan : 8. Ahmad Fatah : 9. Siti Habibah : 10. Muhammad Misbah : Carat-Gempol-Pasuruan 11. Siti Munifah :

Secara garis keturunan atau Silsilah Keluarga, KH. Sholeh Bahruddin masih merupakan ketururanan Rasululloh Saw. yang ke 33. Adapun silsilah beliau sebagaimana berikut:

1. KH. M. Sholeh Bahruddin 2. KH. M. bahruddin Kalam 3. Kyai Kalam Arfi 4. Nyai Salimah 5. Kyai Sulaiman 6. Kyai Hasan Besari 7. Kyai Ya'qub 8. Kyai Muhammad Besari 9. Kyai Anum Besari 10. Raden Ageng Abdul Rosyid 11. Raden Pangeran Santri 12. Raden Joko Tingkir 13. Pangeran Pandan Arum 14. Sayyid Maulana Ishaq 15. Sayyid Jamaluddin Husain 16. Sayyid Abdullah Khan 17. Sayyid Amar Abdullah 18. Sayyid Alwi 19. Sayyid Muhammad 20. Sayyid Alwi 21. Sayyid Muhammad 22. Sayyid Alwi 23. Sayyid Abdullah 24. Sayyid Ahmad Muhajir 25. Sayyid Hasan al-Bishri 26. Sayyid Tsaqib ar-Rumi 27. Sayyid Ali Uraidh 28. Sayyid Ja'far as-Shodiq 29. Sayyid Muhammad Baqir 30. Sayyid Zainul Abidin 31. Sayyidina Husain Ra. 32. Sayyidatina Fatimah az-Zahro Ra. 33. Sayyidina Muhammad Saw.

Sejak kecil KH. M. Sholeh Bahruddin belajar di rumah diajar langsung oleh ayahnya sendiri dan guru-guru lainnya. Selanjutnya ketika menginjak dewasa beliau disuruh ayahnya untuk menuntut ilmu kepada Kyai Syamsuddin Ngoro-Mojokerto, yang merupakan paman dari KH. M. Sholeh Bahruddin sendiri. Setelah dirasa cukup beliau berguru pada beberapa kyai, diantaranya sebagai berikut:

1. Kyai Qusairi : Mojosari-Mojokerto-Jawa Timur 2. Kyai Bahri : Sawahan-Mojosari-Mojokerto-Jawa Timur 3. Kyai Jamal : Batho'an-Mojo-Kediri-Jawa Timur 4. Kyai Musta'in : Peterongan-Jombang-Jawa Timur 5. Kyai Iskandar : Kandangan-Ngoro-Jombang-Jawa Timur 6. Kyai Muslih : Mranggen-Semarang-Jawa Tengah 7. Kyai Munawir : Tegal Arum-Kertosono-Nganjuk-Jawa Timur

Selesai mendalami pendidikan agama di pelbagai Pondok Pesantren, pada usia 22 tahun, tepatnya pada tahun 1975, beliau menikah dengan Nyai Hj. Siti Sa'adah dari Krandon-Kerjo-Karangan-Trenggalek, yang mana kalau ditelusuri dari garis keturunan antara keduanya, menjadi satu saudara ada garis keturunan Nyai Salimah. Hingga sekarang dari hasil perkawinan, beliau dikaruniahi 10 anak, diantaranya sebagai berikut:

1. Siti Muthoharoh 2. Atik Hidayatin 3. Ahmad Syaikhu 4. Siti Faiqoh 5. Luluk Nadhiro 6. Ahmad Faishol (alm.) 7. Siti Khurotin 8. M. Bustomi (alm.) 9. Siti Hajar 10. Siti Nuronia

Kiprah KH. M. Sholeh Bahruddin

a. Wilayah Lokal Dalam wilayah lokal, selain menjadi pengasuh Pondok Pesantren Ngalah sendiri kiprah KH. M. Sholeh Bahruddin boleh dibilang sangat intens. Hal ini dibuktikan dengan diadakannya beberapa kegiatan keagamaan, antara lain:

  1. 1. Pengajian Malam Senin.

Pengajian yang lebih familiar disebut dengan seninan ini diikuti + 2000 jama'ah, baik dari kalangan muda maupun tua, baik yang berprofesi sebagai buruh tani atau pabrik sampai pengusaha.

  1. 2. Pengajian Hari Selasa.

Pengajian ini diikuti oleh + 200 Jama'ah. Pengajian ini lebih dulu ada dari pengajian Malam Senin, namun yang membedakannya hanya terletak pada kesempatan dari jama'ah itu sendiri. Dalam artian pengajian malam senin diadakan untuk memberi kesempatan pada masyarakat yang pada hari Selasa siangnya bekerja.

  1. 3. Pengajian Malam Kamis.

Pengajian ini diikuti + 300 Jama'ah yang dalam prosesnya KH. M. Sholeh Bahruddin mengajak para jama'ah untuk sholat malam berjama'ah.

  1. 4. Dzikrul Ghofilin.

Kegiatan yang diadakan 1 bulan sekali ini diikuti + 1500 jama'ah. Dalam pengajian ini KH. M. Sholeh Bahruddin mengajak para jama'ah untuk berdo'a bersama dengan membaca kalimat-kalimat thoyyibah yang terdapat dalam buku dzikrul ghofilin yang disusun oleh Gus Miek.

  1. 5. Sholat Malam Lailatul Qodar.

Kegiatan ini dilakukan 1 tahun sekali, tepatnya pada malam ganjil bulan ramadhan dan pegajian ini diikuti + 10.000 jama'ah dari berbagai kalangan dan daerah baik dari Pasuruan dan luar Pasuruan

read more “Profil Pengasuh Pondok Pesantren Ngalah”