Jumat, 05 Juni 2009

AHLI ASBAB DAN AHLI TAJRID

Ahli Asbab dan Ahli Tajrid (Terjemah syarah Hikam 2)

Artinya: Keinginan kamu untuk bertajrid padahal Allah masih meletakkan kamu dalam suasana asbab adalah syahwat yang samar, sebaliknya keinginan kamu untuk berasbab padahal allah telah meletakkan kamu dalam suasana tajrid bererti turun dari semangat dan tingkat yang tinggi.

Hikmat 1 menerangkan tanda orang yang bersandar kepada amal. Bergantung kepada amal adalah sifat manusia biasa yang hidup dalam dunia ini. Dunia ini dinamakan alam asbab. Apabila perjalanan hidup keduniaan dipandang melalui mata ilmu atau mata akal akan dapat disaksikan kerapian susunan sistem sebab musabab yang mempengaruhi segala kejadian. Tiap sesuatu terjadi pasti disebabkan oleh sesuatu. Hubungan sebab dengan akibat sangat erat. Mata akal melihat dengan jelas peranan sebab dalam menentukan akibat. Kerapian sistem sebab musabab ini bisa membuat manusia mengambil manfaat dari analisa dan kejadian alam. Manusia dapat menentukan bisa yang bisa membahayakan kesehatan lalu menjauhkannya dan manusia juga bisa menentukan mana yang bisa dijadikan obat, lalu menggunakannya. Manusia bisa membuat ramalan cuaca, pasang surut air laut, angin, ombak, letusan gunung berapi dan lain-lain karena sistem yang mengawal perjalanan alam yang berada dalam suasana yang sangat rapi dan sempurna, sehingga membentuk hubungan sebab dan akibat yang terpadu.

Allah s.w.t menjadikan sistem sebab musabab dengan sangat rapi adalah untuk memudahkan manusia dalam menyusun kehidupan mereka di dunia ini. Kekuatan akal dan pancaindera manusia mampu menjelaskan kehidupan yang dikaitkan dengan perjalanan sebab musabab. Hasil dari perhatian dan kajian akal itulah lahir berbagai macam jenis ilmu tentang alam dan kehidupan, seperti ilmu sains, astronomi, kedoktoran, teknologi maklumat dan sebagainya. Semua jenis ilmu itu dibentuk berdasarkan perjalanan hukum sebab-akibat.

Kerapian sistem sebab musabab menyebabkan manusia terikat kuat dengan hukum sebab-akibat. Manusia bergantung kepada amal (sebab) dalam mendapatkan hasil (akibat). Manusia yang melihat kepada peran sebab dalam menentukan akibat serta bersandar dengannya dinamakan ahli asbab.

Sistem sebab musabab atau perjalanan hukum sebab-akibat sering membuat manusia lupa kepada kekuasaan Allah s.w.t. Mereka melakukan sesuatu dengan penuh keyakinan bahawa akibat akan lahir daripada sebab, seolah-olah Allah s.w.t tidak ikut campur dalam urusan mereka. Allah s.w.t tidak suka hamba-Nya ‘mempertuhankan’ sesuatu kekuatan sehingga mereka lupa kepada kekuasaan-Nya. Allah s.w.t tidak suka jika hamba-Nya sampai kepada tahap mempersekutukan diri-Nya dan kekuasaan-Nya dengan alam dan hukum sebab-akibat yang telah diciptakan-Nya. Dia yang menata sedemikian rapinya hukum sebab-akibat tersebut.

Dia juga berkuasa untuk merubah hukum tersebut. Dia mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi dengan membawa mukjizat untuk merubah hukum sebab-akibat dan membawa manusia kembali ke jalan-Nya,sehingga sebab musabab tidak lagi menjadi hijab ketuhanan-Nya. Kelahiran Nabi Isa a.s, terbelahnya laut dipukul oleh tongkat Nabi Musa a.s, apiyang berkobar-kobar tetapi tidak bisa membakar Nabi Ibrahim a.s, keluarnya air yang jernih dari jari-jari Nabi Muhammad s.a.w dan banyak lagi, Semua itu untuk menyadarkan manusia bahwa pada hakekatnya Allah lah yang berkuasa bukan karena sebab musabab. Alam dan hukum yang ada seharusnya membuat manusia bisa mengenal Tuhan, bukan menutup pandangan kepada Tuhan. Sebagian dari manusia telah diselamatkan Allah s.w.t dari salah pentafsiran tentang sebab musabab.

Sebagai manusia yang hidup dalam dunia, mereka masih bergerak dalam arus sebab musabab tetapi mereka tidak meletakkan peranan hukum kepada sebab. Mereka sentiasa melihat kekuasaan Allah s.w.t yang menetapkan atau mencabut dampk pada sesuatu hukum sebab-akibat. Jika sesuatu sebab berhasil mengeluarkan akibat menurut yang biasa terjadi, mereka melihatnya sebagai kekuasaan Allah s.w.t yang menetapkan kekuatan kepada sebab tersebut dan Allah s.w.t juga yang mengeluarkan akibatnya. Allah s.w.t berfirman:

Artinya: Segala yang ada di langit dan di bumi selalu mengucap tasbih kepada Allah; dan Dialah Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. Dialah saja yang menguasai dan memiliki langit dan bumi; Ia menghidupkan dan mematikan; dan Ia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. (Surah al-Hadiid:1-2)

Artinya: Maka Kami (Allah) berfirman: “Pukullah si mati dengan sebahagian anggota lembu yang kamu sembelih itu”. (Mereka pun memukulnya dan ia kembali hidup). Demikianlah Allah menghidupkan orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepada kamu tanda-tanda kekuasaan-Nya, supaya kamu memahaminya. (Surah al-Baqarah: 73)

Orang yang melihat kepada kekuasaan Allah s.w.t memandang bukan hukum sebab-akibat yang berlaku pada hukum tersebut. Ia hanya bersandar kepada Allah s.w.t, bukan kepada amal yang menjadi sebab. Orang yang seperti ini disebut ahli tajrid.

Ahli tajrid, seperti juga ahli asbab, melakukan sesuatu menurut peraturan sebab-akibat. Ahli tajrid juga makan dan minum Ahli tajrid memanaskan badan dan memasak dengan menggunakan api juga. Ahli tajrid juga melakukan sesuatu pekerjaan yang berhubungan dengan rezekinya. Tidak ada perbedaan di antara amal ahli tajrid dengan amal ahli asbab. Perbedaannya terletak di dalam diri yaitu hati. Ahli asbab melihat kepada kekuatan hukum alam. Ahli tajrid melihat kepada kekuasaan Allah s.w.t pada hukum alam itu. Walaupun ahli asbab mengakui kekuasaan Allah s.w.t tetapi penghayatan dan kekuatannya pada hati tidak sekuat ahli tajrid.

Dalam melakukan kebaikan ahli asbab perlu melakukan mujahadah. Mereka perlu memaksa diri mereka berbuat baik dan perlu menjaga kebaikan itu agar tidak menjadi rusak. Ahli asbab perlu memperingatkan dirinya supaya berbuat ikhlas dan perlu melindungi keikhlasannya agar tidak dirusakkan oleh riak (berbuat baik untuk diperlihatkan kepada orang lain agar dia dikatakan orang baik), takabur (sombong dan membesar diri, merasakan diri sendiri lebih baik, lebih tinggi, lebih kuat dan lebih cerdik daripada orang lain) dan sum’ah (membawa perhatian orang lain kepada kebaikan yang telah dibuatnya dengan cara bercerita mengenainya, agar orang mengakui bawa dia adalah orang baik). Jadi, ahli asbab perlu memelihara kebaikan sebelum melakukannya dan juga setelah melakukannya. Suasana hati ahli tajrid berbeda dengan apa yang dialami oleh ahli asbab. Jika ahli asbab memperingatkan dirinya supaya ikhlas, maka ahli tajrid tidak melihat kepada ikhlas kerana mereka tidak bersandar kepada amal kebaikan yang mereka lakukan. Apa juga kebaikan yang keluar dari mereka diserahkan kepada Allah s.w.t yang mengaruniakan kebaikan tersebut. Ahli tajrid tidak perlu menentukan perbuatannya ikhlas atau tidak ikhlas. Melihat keihklasan pada perbuatan sama dengan melihat diri sendiri yang ikhlas. Apabila seseorang merasakan dirinya sudah ikhlas, padanya masih tersembunyi keegoan diri yang membawa kepada riak, ujub (merasakan diri sendiri sudah baik) dan sum’ah. Apabila tangan kanan berbuat ikhlas dalam keadaan tangan kiri tidak menyedari perbuatan itu baharulah tangan kanan itu benar-benar ikhlas. Orang yang ikhlas berbuat kebaikan dengan melupakan kebaikan itu. Ikhlas sama seperti harta benda. Jika seorang miskin diberi harta oleh jutawan, orang miskin itu malu mendabik dada kepada jutawan itu dengan mengatakan yang dia sudah kaya. Orang tajrid yang diberi ikhlas oleh Allah s.w.t mengembalikan kebaikan mereka kepada Allah s.w.t. Jika harta orang miskin itu hak si jutawan tadi, ikhlas orang tajrid adalah hak Allah s.w.t. Jadi, orang asbab bergembira kerana melakukan perbuatan dengan ikhlas, orang tajrid pula melihat bahwa Allah s.w.t yang menentukan semua urusan. Ahli asbab dibawa kepada syukur, ahli tajrid berada dalam penyerahan.

Kebaikan yang dilakukan oleh ahli asbab merupakan teguran agar mereka ingat kepada Allah s.w.t yang memimpin mereka kepada kebaikan. Kebaikan yang dilakukan oleh ahli tajrid merupakan karunia Allah s.w.t kepada kumpulan manusia yang tidak memandang kepada diri mereka dan kepentingannya. Ahli asbab melihat kepada peranan hukum sebab-akibat. Ahli tajrid pula melihat kepada peranan kekuasaan dan ketentuan Allah s.w.t. Dari kalangan ahli tajrid, Allah s.w.t memilih sebagian dan meletakkan kekuatan hukum pada mereka. Kumpulan ini bukan sekadar tidak melihat kepada peranan hukum sebab-akibat, malah mereka berkekuatan menguasai hukum sebab-akibat itu. Mereka adalah nabi-nabi dan wali-wali pilihan. Nabi-nabi dianugerahkan mukjizat dan wali-wali dianugerahkan kekeramatan. Mukjizat dan kekeramatan merubah peranan hukum sebab-akibat.

Di dalam kumpulan wali-wali pilihan yang dikaruniakan kekuatan mengawal hukum sebab-akibat itu terdapat orang-orang seperti Syeikh Abdul Kadir al-Jailani, Abu Hasan as-Sazili, Rabiatul Adawiah, Ibrahim Adham dan lain-lain. Cerita tentang kekeramatan mereka sering diperdengarkan. Orang yang cenderung kepada tarekat tasawuf gemar menjadikan kehidupan aulia’ Allah s.w.t tersebut sebagai contoh, dan yang mudah memikat perhatian adalah bagian kekeramatan. Kekeramatan biasanya dikaitkan dengan perilaku kehidupan yang zuhud dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Timbul anggapan bahawa jika mau memperoleh kekeramatan seperti mereka maka harus hidup sebagaimana mereka. Orang yang berada pada peringkat permulaan bertarekat cenderung untuk memilih jalan bertajrid yaitu membuang segala ikhtiar dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Sikap melalui bertajrid membuat seseorang meninggalkan pekerjaan, isteri, anak-anak, masyarakat dan dunia seluruhnya. Semua harta disedekahkan karena dia melihat Saidina Abu Bakar as-Siddik telah berbuat demikian. Ibrahim bin Adham telah meninggalkan takhta kerajaan, isteri, anak, rakyat dan negerinya lalu tinggal di dalam gua. Biasanya orang yang bertindak demikian tidak dapat bertahan lama. Sesudah itu dia mungkin meninggalkan kumpulan tarekatnya dan kembali kepada kehidupan duniawi. Ada juga yang kembali kepada kehidupan yang lebih buruk daripada keadaannya sebelum bertarekat dahulu kerana dia mau menebus kembali apa yang telah ditinggalkannya dahulu untuk bertarekat. Keadaan yang demikian berlaku akibat bertajrid secara berlebihan. Orang yang baru masuk ke dalam bidang latihan kerohanian sudah mau beramal seperti aulia Allah s.w.t yang sudah berpuluh-puluh tahun melatihkan diri. Tindakan mencampakan semua yang dimilikinya secara tergesa-gesa membuatnya berhadapan dengan ejekan dan prasangka yang bisa menggoncangkan imannya dan mungkin juga membuatnya berputus-asa. Apa yang harus dilakukan bukanlah meniru kehidupan aulia Allah s.w.t yang telah mencapai makam yang tinggi secara berlebihan. Seseorang haruslah melihat kepada dirinya dan mengenal pasti kedudukannya, kemampuanya dan daya-tahannya. Ketika masih di dalam makam asbab seseorang haruslah bertindak sesuai dengan hukum sebab-akibat. Dia harus bekerja untuk mendapatkan rezekinya dan harus pula berusaha menjauhkan dirinya dari bahaya atau kemusnahan.

Ahli asbab perlu berbuat demikian kerana dia masih terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dia masih melihat bahwa tindakan makhluk masih memberi kesan kepada dirinya. Oleh sebab itu wajar jika dia melakukan tindakan, menurut pandangannya akan mendatangkan kesejahteraan kepada dirinya dan orang lain. Tanda Allah s.w.t meletakkan seseorang pada kedudukan sebagai ahli asbab ialah apabila urusannya dan tindakannya yang menurut kesesuaian hukum sebab-akibat tidak menyebabkannya mengabaikan kewajiban terhadap tuntutan agama. Dia tetap merasa ringan untuk berbakti kepada Allah s.w.t, tidak terjerumus oleh nikmat duniawi dan tidak merasa iri hati terhadap orang lain. Apabila ahli asbab berjalan menurut hukum asbab maka jiwanya akan maju dan berkembang dengan baik tanpa menghadapi kegoncangan yang besar yang bisa menyebabkan dia berputus asa dari rahmat Allah s.w.t. Rohaninya akan menjadi kuat sedikit demi sedikit dan membawanya ke dalam makam tajrid secara selamat. Akhirnya dia mampu untuk bertajrid sepenuhnya.

Ada pula orang yang dipaksa oleh takdir supaya bertajrid. Orang ini asalnya adalah ahli asbab yang berjalan menurut hukum sebab-akibat sebagaimana orang ramai. Kemungkinannya kehidupan seperti itu tidak menambahkan kematangan rohaninya. Perubahan jalan perlu baginya supaya dia bisa maju dalam bidang kerohanian. Oleh karena itu takdir bertindak memaksanya untuk terjun ke dalam lautan tajrid. Dia akan mengalami keadaan di mana hukum sebab-akibat tidak lagi membantunya untuk menyelesaikan masalahnya. Jika dia seorang raja, takdir mencabut kerajaannya. jika dia seorang hartawan, takdir menghapuskan hartanya. Jika dia seorang yang cantik, takdir menghilangkan kecantikannya itu. Takdir memisahkannya dariapa yang dimiliki dan dikasihinya. Pada peringkat permulaan menerima kedatangan takdir yang demikian, sebagai ahli asbab, dia berikhtiar menurut hukum sebab-akibat untuk mempertahankan apa yang dimiliki dan dikasihinya. Jika dia tidak berdaya untuk menolong dirinya dia akan meminta pertolongan orang lain. Setelah puas dia berikhtiar termasuklah bantuan orang lain namun, tangan takdir tetap juga merubah sistem sebab-akibat yang terjadi ke atas dirinya. Apabila dia sendiri dengan dibantu oleh orang lain tidak mampu mengatasi arus takdir maka dia tidak ada pilihan kecuali berserah kepada takdir. Dalam keadaan begitu dia akan lari kepada Allah s.w.t dan merayu agar Allah s.w.t menolongnya. Pada peringkat ini seseorang itu akan kuat beribadat dan menyerahkan sepenuh hatinya kepada Tuhan. Dia benar-benar berharap Tuhan akan menolongnya mengembalikan apa yang pernah dimilikinya dan dikasihinya. Tetapi, pertolongan tidak juga sampai kepadanya sehingga dia benar-benar terpisah dari apa yang dimiliki dan dikasihinya itu. putuslah harapannya untuk memperolehnya kembali. Ikhlaslah dia dengan perpisahan itu. Dia tidak lagi merayu kepada Tuhan sebaliknya dia menyerahkan segala urusannya kepada Tuhan. Dia menyerah bulat-bulat kepada Allah s.w.t, tidak ada lagi ikhtiar, pilihan dan kehendak diri sendiri. Jadilah dia seorang hamba Allah s.w.t yang bertajrid. Apabila seseorang hamba benar-benar bertajrid maka Allah s.w.t sendiri akan menguruskan kehidupannya. Allah s.w.t menggambarkan suasana tajrid dengan firman-Nya:

Artinya: Dan (ingatlah) berapa banyak binatang yang tidak membawa rezekinya bersama, Allah jualah yang memberi rezeki kepadanya dan kepada kamu; dan Dialah jua Yang Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui. (Surah al-‘Ankabut: 60)

Makhluk Allah s.w.t seperti burung, ikan, kuman dan sebagainya tidak memiliki tempat simpanan makanan. Mereka adalah ahli tajrid yang dijamin rezeki mereka oleh Allah s.w.t. Jaminan Allah s.w.t itu meliputi juga bangsa manusia. Tanda Allah s.w.t meletakkan seseorang hamba-Nya di dalam makam tajrid ialah Allah s.w.t memudahkan baginya rezeki yang datang dari arah yang tidak diduganya. Jiwanya tetap tenteram sekalipun terjadi kekurangan pada rezeki atau ketika menerima ujian.

Jika ahli tajrid sengaja memindahkan dirinya kepada makam asbab maka ini bermakna dia melepaskan jaminan Allah s.w.t lalu bersandar kepada makhluk . Ini menunjukkan akan kejahilannya tentang rahmat dan kekuasaan Allah s.w.t. Tindakan yang jahil itu bisa menyebabkan berkurangnya atau hilangnya keberkahan yang Allah s.w.t karuniakan kepadanya. Misalnya, seorang ahli tajrid yang tidak mempunyai pekerjaan kecuali membimbing orang kepada jalan Allah s.w.t, walaupun tidak mempunyai pekerjaan namun, rezeki datang kepadanya dari berbagai-bagai arah dan tidak pernah putus tanpa dia meminta-minta atau mengharap-harap. Pengajaran yang disampaikan kepada murid-muridnya sangat berkesan sekali. Keberkahannya amat terlihat seperti makbul doa dan ucapannya biasanya menjadi kenyataan. Andainya dia meninggalkan suasana bertajrid lalu berasbab karena tidak puas hati dengan rezeki yang diterimanya maka keberkatannya akan terkikis. Pengajarannya, doanya dan ucapannya tidak seberkesan dahulu lagi. Ilham yang datang kepadanya tersekat-sekat dan kefasihan lidahnya tidak selancar biasa.

Seseorang hamba haruslah menerima dan reda dengan kedudukan yang Allah s.w.t kurniakan kepadanya. Berserahlah kepada Allah s.w.t dengan yakin bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah s.w.t tahu apa yang patut bagi setiap makhluk-Nya. Allah s.w.t sangat bijak mengatur urusan hamba-hamba-Nya.

Keinginan kepada pertukaran makam merupakan tipu daya yang sangat halus. Di dalamnya tersembunyi rangsangan nafsu yang sukar disadari. Nafsu di sini termasuk kehendak, cita-cita dan angan-angan. Orang yang baru terbuka pintu hatinya setelah lama hidup di dalam kelalaian, akan mudah tergerak untuk meninggalkan suasana asbab dan masuk ke dalam suasana tajrid. Orang yang telah lama berada dalam suasana tajrid, apabila kesedaran dirinya kembali sepenuhnya, ikut kembali kepadanya adalah keinginan, cita-cita dan angan-angan. Nafsu mencoba untuk bangkit semula menguasai dirinya. Orang asbab perlulah menyadari bahwa keinginannya untuk berpindah kepada makam tajrid itu mungkin secara halus digerakkan oleh ego diri yang tertanam jauh dalam jiwanya. Orang tajrid juga harus sadar keinginannya untuk kembali kepada asbab itu mungkin didorong oleh nafsu rendah yang masih belum berpisah dari hatinya. Ulama tasawuf mengatakan seseorang mungkin dapat mencapai semua makam nafsu, tetapi nafsu peringkat pertama tidak kunjung padam. Oleh karena itu perjuangan atau mujahadah mengawasi nafsu sentiasa berjalan.

2 komentar: