Sabtu, 06 Juni 2009

Hak Allah Dan Hak Mukallaf

Hak Allah Dan Hak Mukallaf

Oleh: M.ali Erkham

1. DEFINISI

Setiap perbuatan atau aktivitas manusia di dunia ini selalu berkaitan erat dengan hak orang lain ataupun dengan hak Allah SWT. Keterkaitan itu adalah sunnatullah (nature) yang sudah, sedang, dan akan terus berlaku sepanjang masa. Karena itu, ulama Ushul Fiqh memilah hak menjadi 2 (dua) bagian, yaitu hak Allah (haqq Allah) dan hak manusia (haqq mukallaf).

Hak Allah adalah setiap perbuatan mukallaf yang memiliki pengaruh luas dan berhubungan dengan kepentingan masyarakat umum. Pada titik ini si mukallaf tidak mempunyai pilihan/alternatif selain melaksanakannya. Dalam hak Allah ini, keputusannya diserahkan kepada waliyyul amr (penguasa), seperti dalam hukuman qishos, had, atau ta’zir.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap hukum syari’at yang mengandung kemaslahatan bagi masyarakat luas, bukan hanya untuk kepentingan individual, adalah hak Allah. Penisbatan hak ini kepada Allah mengisyaratkan bahwa ia bersifat umum, sehingga tidak ada yang bisa mengklaim sebagai pemiliknya kecuali Allah SWT. semata. Sebab Allah adalah Sang Maha Pemilik alam semesta.

Sementara hak mukallaf adalah setiap perbuatan yang tidak memiliki implikasi di luar diri si mukallaf. Tujuan dari perbuatan tersebut semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri; dan dalam pelaksanaannya dia memiliki pilihan/alternatif.

Selain dua hak di atas, ada pula hak yang tidak murni hak Allah juga tidak murni hak mukallaf. Hak ini merupakan kombinasi antara hak Allah dan hak mukallaf. Cara mengetahuinya cukup mudah. Jika tujuannya lebih banyak untuk kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi, maka yang lebih utama adalah hak Allah dan hukumnya sama seperti hak Allah yang murni. Namun bila perbuatan tersebut lebih banyak mengandung unsur pribadi, maka ia dikategorikan hak mukallaf dan hukumnya sama seperti hak mukallaf yang murni.

2. KLASIFIKASI

Imam Zarkasyi dalam Al Mantsur, membagi hak-hak Allah menjadi 3, yaitu:

1) Ibadah murni, tersusun didalamnya kesempatan untuk memperoleh derajat-derajat dan pahala, dan berhubungan dengan sebab-sebab yang diakhirkan, seperti: nishob, zakat, waku shalat dan puasa.

2) Siksa murni, yang berhubungan dengan larangan-larangan yang telah ditetapkan oleh Allah.

3) kafarot, sesuau yang didalamnya mengandung atau bercampur diantara nilai ibadah dan siksa.

a) Hak Yang Berhubungan Dengan Harta

Adapun hak-hak anak Adam (manusia) yang berhubungan dengan harta, adakalanya diwajibkan dengan adanya sebab secara langsung. Dan tidak ada keguguran di dalamnya, walaupun dalam keadaan tidak mampu secara pasti.

Adapun hak-hak yang berhubungan dengan harta wajib yakni pengeluaran zakatnya ada 3 macam:

1. Sesuatu yang diwajibkan dengan sebab-sebab tidak secara langsung dari hamba, contoh zakat fitrah, jika dalam waktu yang telah ditentukan (wajib) tidak mampu mengeluarkannya, maka hukum tanggungannya hilang. Sehingga walaupun sudah mampu mengeluarkan zakat setelah waktu wajib, maka sudah gugurlah tanggungannya.

2. Sesuatu yang diwajibkan dengan adanya sebab secara langsung, pada segi penggantian. Seperti kafarot pakaian dan biaya kesehatan ketika melaksanakan ihrom. Dan yang shohih adalah sebagaimana dalam syarahnya kitab Muhadzab.

3. Sesuatu yang diwajibkan, tetapi tidak berada pada segi penggantian (Badal), seperti kafarat Zina, bersumpah, membunuh, dan sumpah Dzihar. Didalamnya ada dua Qoul/Pendapat. Dan yang paling Dzohir dari keduanya adalah tetapnya tanggungan dalam keadaan tidak mampu.

Mengenai sesuatu yang menjadi hak murni mukallaf, contohnya tanggung jawab terhadap orang yang merusak harta dengan seimbang atau dengan nilai harganya, hal ini adalah hak murni bagi pemilik harta jika dia menginginkan maka akan memikulnya. dan bila tidak, dia tinggalkan. Menahan benda yang di gadaikan adalah hak murni bagi si penerima gadai. Menagih hutang adalah hak murni bagi orang yang menghutangkan. Jadi syari’ menetapkan hak-hak ini kepada orang–orang yang mempunyai hak-hak itu. Mereka mempunyai hak-hak alternatif, jika berkenaan mereka bisa melaksanakan hak-hak itu. Karena setiap mukallaf memiliki hak untuk memakai haknya. Semua itu tidak tergolong maslahah umum.

Catatan: Imam Syathibi menuturkan dalam Al Muwafaqat bahwasannya segala jenis azimah adalah hak Allah, sedangkan rukhshah adalah hak mukallaf yang merupakan kemurahan dari Allah.

b) Pembagian Hak Allah dan Hak Mukallaf Sesuai Banyaknya Saksi

Hak Allah terbagi menjadi 3 bagian :

1. Hak yang padanya tidak boleh diterima saksi kurang dari empat saksi laki-laki, yaitu perzinaan, Allah berfirman yang artinya : “Dan orang-rang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.” (QS An-Nuur: 4).

2. Hak yang padanya di terima dua orang saksi laki- laki, yaitu perbuatan- perbuatan selain zina.

3. Satu hak yang padanya diterima seorang saksi laki-laki, yaitu orang yang menyaksikan hilal bulan ramadhan.

Adapun hak-hak Allah SWT ini kesaksianya sama sekali tidak boleh diterima dari kaum perempuan. Hal ini mengacu pada pernyataan Imam az-Zuhri:“Seseorang sama sekali tidak boleh dijatuhi hukuman had, kecuali dengan kesaksian dua orang laki-laki.”

Berbeda dengan pembagian hak- hak manusia yang di dalamnya dapat di terima saksi perempuan, dan hak manusia dapat di bagi menjadi 3 bagian pula. Yakni:

a. Suatu hak yang kesaksian hanya boleh diterima dari dua orang saksi laki-laki saja, yaitu suatu hak yang tidak dimaksudkan untuk mendapat harta dan permasalahan ini disaksikan juga oleh orang banyak seperti perkawinan dan perceraian.

Firman Allah SWT: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (QS Ath-Thalaq: 2).

b. Suatu hak yang mana kesaksian boleh diterima dari dua orang saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan dua orang perempuan, atau seorang laki-laki dan si penuduh bersumpah. Masalah ini berkaitan erat dengan harta benda, misalnya jual beli, sewa menyewa, gadai dan semisalnya.

Allah SWT menegaskan: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang mengingatkannya.” (QS Al-Baqarah: 282)

c. Satu hak yang mana kesaksian bisa diterima dari dua orang laki-laki, atau perempuan, yaitu hal-hal yang pada umumnya tidak layak dilihat laki-laki, misalnya penyusunan, kelahiran, dan aib perempuan yang bersifat sangat pribadi.

Secara umum, hak murni bagi Allah berlaku dalam hal-hal berikut:

1. Ibadah Mahdah (murni), seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Juga iman dan Islam yang merupakan pangkal ibadah-ibadah itu. Ibadah- ibadah tersebut berdasarkan dasar–dasarnya, beeertujuan menegakkan agama yang merupakan kepentingan bagi ketertiban masyarakat. Manfa’at di syari’atkanya setiap ibadah diantaranya untuk kepentingan umum bukan untuk kepentingan pribadi mukallaf.

2. Ibadah yang mengandung pengertian kesejahteraan, seperti zakat fitrah. Karena zakat fitrah termasuk ibadah dari segi bahwa ia termasuk sarana mendekatkan diri kepada Allah lantaran bersedekah kepada fakir miskin. Tetapi ia bukan ibadah murni, bahkan di dalamnya terkandung pengertian pajak jiwa demi kelestarian dan demi terpeliharanya jiwa. Hal ini yang di maksud para ‘ulama bahwa di dalamnya terkandung pengertian kesejahteraan.

3. Pajak-pajak yang diwajibkan atas tanah pertanian. Pajak itu berupa penghasilan persepuluhan berdasarkan bea pajak. Pada dasarnya yanmg di tetapkan terhadap pertanian persepuluh itu sepersepuluh atau separuhnya. Sementara yang di tetapkan terhadap pertanian berdasarkan bea pajak, ialah penghasilan tetap atau bagi hasil.

4. Beberapa bentuk pajak yang ditentukan pada harta rampasan dalam perang, dan yang ada diperut bumi berupa harta pertambangan. Syari’ menjadikan 4/5 harta rampasan untuk angkatan perang dan yang 1/5 nya untuk kepentingan umum seperti yang telah di jelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an yang artinya :” ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya 1/5 untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak- anak yatim, orang – orang miskin dan ibnu sabil…….( QS. Al Anfal ayat :41).

Syari’ menjadikan 4/5 dari harta benda dan harta tambang bagi penemunya, dan 1/5 untuk kepentingan umum seperti yang telah di jelaskan oleh Allah dalam ayat tersebut.

5. Macam-macam hukuman sempurna, yaitu pidana zina, pidana pencurian. Pidana para pembangkang yang memerangi ajaran Allah dan Rasul-Nya derta membuat kerusakan atau kekacauan diatas bumi. Hukuman itu demi kemaslahatan masyarakat seluruhnya.

6. Macam hukuman terbatas yaitu terhalangnya si pembunuh untuk mendapatkan harta pusaka. Ini adalah hukuman yang yang terbatas, karena bersifat pasif, di mana si pembunuh dalam hukuman itu tidak mendapatkan siksaan fisik, atau kerugian harta benda. Hukuman macam ini adalah Hak Allah, karena di dalamnya tidak terkandung keuntungan bagi yang membunuh.

7. Beberapa hukum yang didalamnya terkandung pengertian ibadah seperti kafarot orang yang melanggar sumpah, kafarot bagi orang yang tidak berpuasa pada bulan ramadhan dengan sengaja, kafarot bagi orang yang membunuh karena keliru atau tidak sengaja, atau orang yang men-zihar istrinya.

Semua bentuk hukuman ini adalah hak murni bagi Allah. Semua itu untuk merealisir kemaslahatan manusia secara umum, disana mukallaf tidak mempunyai pilihan. Juga tidak mempunyai hak untuk menggugurkan kecuali haknya sendiri. Juga tidak dapat menggugurkan shalat, puasa, haji, zakat, shodakah wajib, atau hukuman diantara hukuman-hukuman itu, karena semua itu bukan haknya.

3. PERTENTANGAN DALAM HAK ALLAH

Jika terjadi pertentangan dalam hak Allah, maka terdapat klasifikasi dalam 4 hal berikut:

a) Sesuatu yang bertentangan waktunya, maka didahulukan akadnya. Seperti mendahulukan shalat fardhu atas shalat sunnah di akhir waktu, begitu juga pada saat qadha shalat jika tidak ada waktu longgar. Kecuali jika waktunya masih panjang.

b) Tidak bertentangan waktunya serta tidak adanya keharusan untuk menguatkan salah satunya, seperti orang yang tertinggal puasa pada dua bulan Ramadhan, maka baginya dapat memulai puasa Ramadhan sesuai dengan apa yang dia kehendaki.

c) Sesuatu yang memiliki bertahap-tahap, maka yang harus didahulukan adalah yang paling kuat, seperti denda wajib dalam ihram dan zakat fitrah.

d) Persoalan yang masih diperselisihkan (khilaf) status hukumnya, seperti orang yang tidak memiliki pakaian (telanjang); apakah dia harus melaksanakan shalat secara sempurna seperti berdiri, rukuk, dan sujud (menjaga rukun-rukun shalat), atau shalat dengan posisi duduk saja, untuk menutup aurat; atau memilih diantara dua posisi tersebut? Pendapat yang paling shahih adalah yang pertama, yakni mendirikan shalat secara sempurna.

4. HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAK MUKALLAF

Hak-hak mukallaf dibagi menjadi dua:

a) Hak-hak mukallaf pada dirinya sendiri, contoh seperti mengedepankan kebutuhan pakaian, tempat tinggal, dan nafkah untuk dirinya. Begitu juga haknya untuk tidur dan makan.

b) Hak sebagian mukallaf pada yang lain. Menarik setiap kemaslahatan wajib atau sunnah, dan menolak kerusakan yang haram atau makruh, yang dibagi menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, sunnah ‘ain dan sunnah kifayah. Sebagai dasar dalilnya adalah firman Allah yang artinya: “Dan tolong-menolong lah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan lah kamu saling tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan bermusuhan. Ini menunjikan larangan terhadap sesuatu yang menyebabkan kepada kerusakan dan memerintah kepada sesuatu yang menghasilkan maslahah.

5. BERKUMPULNYA HAK ALLAH DAN HAK MUKALLAF

Izzudin ibn Abd al-Salam dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam memilah berkumpulnya hak Allah dan hak Mukallaf dalam 3 bagian:

a) Wajib mendahulukan hak Allah, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan menuduh zina.

b) Wajib mendahulukan hak Mukallaf, seperti bolehnya mengucapkan kalimat kufur ketika dipaksa, dan bolehnya tayammum karena takut sakit dan dari sebab-sebab (‘udzur) yang lain.

c) Sesuatu yang masih diperselisihkan (khilaf), seperti seseorang yang mati dan belum membayar zakat serta mempunyai hutang kepada orang lain. Menurut pendapat yang shahih, yang didahulukan adalah hak Allah. Contoh lain, jika kita menemukan bangkai dan makanan orang lain, maka yang diutamakan adalah memakan bangkai dan mendahulukan hak manusia.

Catatan I:

Menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan itu ada dua macam, salah satunya sesuatu yang berhubungan dengan Allah, seperti Taat,iman, meninggalkan kekufuran, dan maksiat. Yang kedua sesuatu yang tersusun dari hak Allah dan hak Mukallaf, seperti zakat, shodakah, kafarot, harta yang sunnah, binatang kurban, hadiah, wasiat dan wakaf. Yang ketiga sesuatu yang tersusun dari hak Allah dan hak Rosulnya dan hak Mukallaf. Adapun hak Rosul SAW. Adalah memberikan kesaksian pada Risalah yang dibawanya.

Catatan II:

Perbuatan maksiat bisa berhubungan dengan hak Allah atau hak mukallaf. Contoh pertama (berhubungan dengan hak Allah) adalah meninggalkan shalat, puasa,, atau zakat. Orang yang meninggalkan kewajiban-kewajiban tersebut tidak sah taubatnya sampai dia meng-qadla’nya. Contoh kedua (berhubungan dengan hak mukallaf) adalah kewajiban bertaubat dari hak mukallaf, sedangkan berbuat zalim merupakan maksiat, dan terkena jinayat atas nama hak Allah.

6. KESIMPULAN

Hak itu adakalanya murni hak Allah dan adakalanya murni hak mukallaf. Tapi terkadang dua hak itu berkumpul, sehingga membutuhkan pendalaman serius untuk mengetahui tinggi-rendahnya kualitas keduanya.

Jika hak Allah lebih dominan, maka yang diprioritaskan adalah hak Allah. Tapi bila hak mukallaf yang lebih dominan, maka hak mukallaf lah yang diutamakan. Contohnya adalah mendakwa zina (had al-qadf). Bila dakwaan zina itu bisa mendatangkan kebaikan bagi masyarakat luas, maka ia adalah hak Allah karena manfaatnya bersifat umum. Tapi bila dakwaan tersebut dilakukan hanya untuk menutupi aib dari terdakwa, maka ia adalah hak mukallaf. Dalam kondisi seperti ini (hak mukallaf lebih dominan), maka dalam masalah qishos, dia boleh mengambil diyat saja atau memaafkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar