Kamis, 04 Juni 2009

Perbuatan zahir dan suasana hati

Perbuatan Zahir dan Suasana Hati (terjemah dari Syarah Al-Hikam 1)

Artinya: Sebahagian daripada tanda bersandar kepada amal (perbuatan zahir) adalah berkurangan harapannya (suasana hati) tatkala berlaku padanya kesalahan.

Melalui Kalam Hikmat 1 ini Imam Ibnu Athaillah mengajak kita untuk merenung kepada hakikat amal. Amal dibagi menjadi dua jenis yaitu perbuatan zahir dan perbuatan hati atau suasana hati yang dihubungkan dengan perbuatan zahir itu.

Semua orang boleh melakukan perbuatan zahir yang sama, tetapi yang membedakannya adalah suasana hati yang terhubung dengan perbuatan zahir tersebut. Dampak amalan zahir terhadap setiap orang pasti berbeda. Jika amalan zahir itu mempengaruhi suasana hati, maka hati itu dikatakan bersandar kepada amalan zahir. Jika hati dipengaruhi juga oleh amalan hati, maka hati itu dikatakan bersandar juga kepada amal, sekalipun hanya amalan batin.

Hati yang bebas dari ketergantungan bersandar kepada amal zahir ataupun amal batin adalah hati yang menghadap kepada Allah s.w.t dan menyerahkan semuanya kepada-Nya tanpa berharap apapun, serta menyerahkan sepenuhnya kepada Allah s.w.t tanpa takwil atau tuntutan. Maksudnya adalah tidak menjadikan amal, baik amal zahir ataupu batin sebagai alat untuk mendapatkan sesuatu dari Allah . Amalan tidak menjadi perantara antara dia dengan Allah. Orang yang seperti ini tidak membataskan kekuasaan dan kemurahan Tuhan untuk tunduk kepada perbuatan manusia.

Allah s.w.t Yang Maha Kuasa berbuat sesuatu menurut kehendak-Nya tanpa dipengaruhi oleh siapapun dan oleh apapun. Apa saja yang mengenai Allah s.w.t adalah mutlak, tiada had, persamaan dan keterbatasan. Oleh kerana itu orang arif tidak menjadikan amalan sebagai sesuatu yang memaksa Allah s.w.t berbuat sesuatu menurut perbuatan makhluk. kekuasaan Allah s.w.t berada atas kekuasaan makhluk.

Tidak pernah terjadi Allah s.w.t mengikuti perkataan dan perbuatan seseorang atau sesuatu. Sebelum menjadi seorang yang arif, hati manusia memang terhubung rapat dengan amalan dirinya, baik yang zahir mahu pun yang batin. Manusia yang kuat bersandar kepada amalan zahir adalah mereka yang mencari faedah keduniaan dan mereka yang kuat bersandar kepada amalan batin adalah yang mencari faedah akhirat.

Kedua-dua jenis manusia tersebut percaya bahwa amalannya menentukan apa yang akan mereka dapatkan baik di dunia maupun di akhirat. Kepercayaan yang demikian kadang-kadang membuat manusia menjadi kurang berserah diri kepada Allah. Mereka cenderung bergantung kepada amalan saja, ataupun jika mereka bergantung kepada Allah s.w.t, itu bercampur dengan keraguan.

Seseorang manusia boleh introspeksi diri, seberapa jauh mereka berserah diri kepada Allah s.w.t. Kalam Hikmat 1 yang dikeluarkan oleh Ibnu Athaillah ini memberi petunjuk terhadap hal tersebut. Lihatlah kepada hati apabila kita terperosok ke dalam perbuatan maksiat atau dosa. Jika kesalahan yang demikian membuat kita berputus asa daripada rahmat dan pertolongan Allah s.w.t itu tandanya ketergantungan kita kepada-Nya sangat lemah. Firman-Nya:

Artimya: “Wahai anak-anakku! Pergilah dan intiplah khabar berita mengenai Yusuf dan saudaranya, dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat serta pertolongan Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah melainkan kaum yang kafir ”. (Yusuf: 87 )

Ayat di atas menceritakan bahawa orang yang beriman kepada Allah s.w.t menyerahkan semuanya kepada-Nya walau dalam keadaan apapun. bergantung kepada Allah s.w.t membuat hati tidak berputus asa dalam menghadapi cobaan hidup. Kadang-kadang sesuatu yang diinginkan, yang direncanakan dan diusahakan tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Kegagalan mendapatkan sesuatu yang diinginkan bukan bermakna tidak menerima pemberian Allah. Tetapi bagi orang yang beriman dan bergantung kepada-Nya maka ketika itulah Allah melimpahkan rahmat-Nya. Bagi orang yang beriman dibalik semua pemberian Allah pasti ada hikmahnya, meskipun berupa kegagalan. Keyakinan tersebut menjadikan orang yang beriman tabah menghadapi cobaan hidup, tidak sekali-kali mereka berputus asa. Mereka yakin bahwa apabila mereka sandarkan segala perkara kepada Allah s.w.t, maka semua amal yang mereka lakukan tidak sia-sia.

Berbeda dengan orang yang tidak beriman kepada Allah s.w.t. Ketergantungan mereka hanya tertuju kepada amalan mereka (ilmu dan usaha). Apabila mereka mengadakan sesuatu usaha berdasarkan keahlian dan pengetahuan yang mereka miliki, mereka mengharapkan akan mendapat hasil yang sesuai. Jika ilmu dan usaha (termasuklah pertolongan orang lain) gagal mendatangkan hasil, mereka tidak mempunyai tempat bersandar lagi. Jadilah mereka orang yang berputus asa. Mereka tidak dapat melihat hikmat kebijaksanaan Allah s.w.t yang mengatur perjalanan takdir dan mereka tidak mendapat rahmat dari-Nya.

Jika orang kafir tidak bersandar kepada Allah s.w.t dan mudah berputus asa, di kalangan sebagian orang Islam juga ada yang demikian, bergantung seberapa banyak sifat mereka yang sama dengan sifat orang kafir. Orang yang seperti ini melakukan amalan kerana kepentingan diri sendiri, bukan karena Allah s.w.t. Orang ini mungkin mengharapkan dengan amalannya itu dia dapat memperoleh kemakmuran hidup di dunia. Dia mengharapkan semoga amal kebaikan yang dilakukannya dapat mengeluarkan hasil dalam bentuk bertambah rezekinya, kedudukannya atau pangkatnya, orang lain semakin menghormatinya dan dia juga dihindarkan dari penyakit, kemiskinan dan sebagainya. Bertambah banyak amal kebaikan yang dilakukannya bertambah besarlah harapan dan keyakinannya untuk mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya.

Sebagian kaum muslimin yang lain mengaitkan amal kebaikan dengan kemuliaan hidup di akhirat. Mereka memandang amal salih sebagai tiket untuk memasuki syurga, juga untuk menjauhkan azab api neraka. Kerohanian orang yang bersandar kepada amal sangat lemah, terutama mereka yang mencari keuntungan keduniaan dengan amal mereka. Mereka tidak tahan menempuh ujian. Mereka mengharapkan perjalanan hidup mereka sentiasa selesai dan berjalan sesuai yang mereka rencanakan. Apabila sesuatu terjadi di luar dugaan, mereka cepat marah dan gelisah. Bencana membuat mereka merasa bahwa merekalah manusia yang paling malang di atas muka bumi ini. Bila berhasil memperoleh sesuatu kebaikan, mereka menganggap bahwa keberhasilan itu disebabkan kepandaian dan keahlian mereka sendiri. Mereka mudah menjadi marah serta sombong.

Apabila rohani seseorang bertambah teguh, dia selalu melihat amal itu sebagai jalan untuknya mendekatkan diri dengan Tuhan. Hatinya tidak lagi cenderung kepada faedah duniawi dan ukhrawi tetapi dia berharap untuk mendapatkan karunia Allah s.w.t seperti terbuka hijab-hijab yang menutupi hatinya. Orang ini merasakan bahwa amalnya yang membawa kepada Tuhan. Dia sering menghubung-hubungkan bahwa keberhasilannya di bidang rohani disebabkan karena amal yang banyak mereka lakukan, seperti berzikir, sembahyang sunat, berpuasa dan lain-lain. Bila dia tertinggal melakukan amal yang biasa dilakukannya atau bila dia tergelincir melakukan kesalahan maka dia merasa dijauhkan oleh Tuhan. Inilah tingkatan pertama bagi seseorang yang ingin mendekatkan diridengan Tuhan melalui amalan tarekat tasawuf.

Jadi, ada golongan yang bersandar kepada amal semata-mata dan ada pula golongan yang bersandar kepada Tuhan melalui amal. Kedua-dua golongan tersebut berpegang kepada kekuatan amal dalam mendapatkan sesuatu. Golongan pertama kuat berpegang kepada amal zahir, yaitu perbuatan zahir yang dinamakan usaha atau ikhtiar. Jika mereka gagal dalam berikhtiar, maka hilanglah harapan mereka untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ahli tarekat yang masih diperingkat awal, yaitu orang yang kuat bersandar kepada amalan batin seperti sembahyang dan berzikir. Jika mereka tertinggal melakukan amalan yang biasa mereka lakukan, akan berkurang harapan mereka untuk mendapatkan anugerah dari Allah s.w.t. Sekiranya mereka tergelincir melakukan dosa, putuslah harapan mereka untuk mendapatkan anugerah Allah s.w.t.

Dalam masalah bersandar kepada amal ini, termasuklah juga bersandar kepada ilmu, baik ilmu zahir atau ilmu batin. Ilmu zahir adalah ilmu yang menjelaskan dan mempelajari sesuatu perkara berdasarkan kekuatan akal. Sedangkan Ilmu batin adalah ilmu yang menggunakan kekuatan batin untuk mendapatkan sesuatu. Ini termasuk juga penggunaan ayat-ayat al-Quran dan jampi. Kebanyakan orang lebih bergantung kepada ayat, jampi dan usaha, dari pada Allah s.w.t. Kemudaian, jika Allah Mengizinkan, kerohanian seseorang akan meningkat kepada makam yang lebih tinggi. Jika dia percaya dengan sepenuh hati terhadap kalimat:

Artinya: Tiada daya dan upaya kecuali Allah.

Artinya: “Padahal Allah yang menciptakan kamu dan benda-benda yang kamu perbuat itu!” (Surah as- Saaffaat Ayat 96 )

Di dalam makam ini seseorang tidak lagi melihat kepada amalnya. Walaupun banyak amal yang telah dilakukannya namun, hatinya tetap menganggap bahwa semua amalan tersebut adalah karunia Allah s.w.t kepadanya. Jika tidak karena taufik dan hidayat dari Allah s.w.t tentu tidak ada amal kebaikan yang dapat dilakukannya. Allah s.w.t berfirman:

Arinya:“Ini adalah limpahan rahmat dari Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau justru mengkufuri nikmat yang telah diberikan-Nya. Dan (sebenarnya) barangsiapa yang bersyukur maka faedah syukurnya itu akankembali kepada dirinya sendiri, dan barangsiapa yang tidak bersyukur (maka tidaklah menjadi masalah kepada Allah), karena sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya, lagi Maha Pemurah”. (Surah an-Naml: Ayat 40 )

Artinya: Dan tiadalah kamu berkemahuan (melakukan sesuatu perkara) melainkan dengan cara yang dikehendaki Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana (menjalankan sesuatu yang dikehendaki-Nya). Ia memasukkan siapa yang Dia kehendaki (menurut aturan yang ditetapkan) ke dalam rahmat-Nya (dengan ditempatkan-Nya di dalam syurga); dan orang-orang yang zalim, Ia menyediakan untuk mereka azab siksa yang tidak terkira pedihnya.(Surah al-Insaan: 30 & 31 )

Semuanya adalah karunia Allah s.w.t dan akan selalu menjadi milik-Nya. Orang ini melihat kepada takdir yang telah ditentukan Allah s.w.t. Makam ini dinamakan makam ariffin yaitu orang yang mengenal Allah s.w.t. Golongan ini tidak lagi bersandar kepada amal tetapi, merekalah yang paling kuat mengerjakan amal ibadat.

Orang yang masuk ke dalam lautan takdir, ikhlas terhadap segala sesuatu yang ditentukan Allah s.w.t, mereka akan sentiasa tenang, tidak berdukacita bila kehilangan sesuatu. Mereka tidak sudah tidak lagi melihat makhluk sebagai penyebab terjadinya sesuatu.

Di awal perjalanan menuju Allah s.w.t, seseorang itu kuat beramal menurut tuntutan syariat. Dia melihat amalan itu sebagai kendaraan yang akan membawanya hampir sampai kepada Allah s.w.t. Semakin kuat dia beramal semakin besarlah harapannya untuk berhasil dalam perjalanannya. Apabila dia mencapai satu tahap, pandangan mata hatinya terhadap amal perbuatan akan mulai berubah. Dia tidak lagi melihat amalan sebagai alat atau penyebab. Pandangannya beralih kepada karunia Allah s.w.t. Dia melihat semua amalannya adalah karunia yang diberikan Allah kepadanya. Kemudia terbukalah hijab yang menutupi dirinya dan dia mengenali dirinya serta mengenali Tuhannya. Dia melihat dirinya sangat lemah, hina, jahil, serba kekurangan dan faqir. Tuhan adalah Maha Kaya, Berkuasa, Mulia, Bijaksana dan Sempurna dalam segala segi. Bila dia sudah mengenali dirinya dan Tuhannya, pandangan mata hatinya tertuju kepada Kudrat dan Iradat Allah s.w.t yang merajai segala sesuatu dalam jagad raya ini. Jadilah dia seorang arif yang sentiasa memandang kepada Allah s.w.t, berserah diri kepada-Nya, bergantung dan memohon kepada-Nya. Dia hanyalah hamba Allah s.w.t yang faqir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar